Komoditas “Palsu”

2 weeks ago 23

Oleh NASIR ANDI BASO (Dosen dan Pengamat Kebijakan Publik)

Lagu dangdut berjudul Janji Palsu mungkin terasa seperti hiburan ringan yang akrab di telinga masyarakat. Namun, jika dikaitkan dengan konteks komoditas politik, kata “palsu” bisa menjadi beban moral bagi masyarakat beradab—mereka yang masih memiliki mimpi dan harapan yang sehat.

Aspal adalah salah satu komoditas mineral andalan yang dimiliki oleh Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Aspal berwarna hitam pekat, namun jika dipelesetkan menjadi “asli tapi palsu,” hal ini seperti membakar nalar kita untuk bertanya: mengapa masyarakat negeri ini seolah bangga dan heroik bersahabat karib dengan berbagai bentuk kepalsuan?

Di dunia pendidikan, kita dikejutkan oleh maraknya ijazah palsu. Di sektor perbankan, kasus uang palsu dengan nilai yang fantastis bahkan dapat melampaui APBD provinsi. Tak ketinggalan, dalam dunia pertambangan, kita pernah mendengar istilah “dokumen terbang”—dokumen palsu yang jika dirupiahkan, nilainya mencapai triliunan.

Kepalsuan, tampaknya, telah menjadi komoditas primadona dalam perpolitikan nasional, sejalan dengan prinsip klasik “relasi politik” yang menyatakan bahwa tidak ada teman atau lawan yang abadi. Prinsip politik yang labil ini melahirkan banyak tragedi “pecah kongsi” dalam pemerintahan. Pasca-pilkada, para pengamat sering bertanya: berapa lama kepala daerah dan wakilnya akan bertahan sebagai pasangan? Di Sulawesi Tenggara, begitu banyak pasangan kepala daerah yang “pecah kongsi” karena terjebak janji palsu yang dibuat di awal perjuangan politik mereka.

Gonjang-ganjing kepalsuan terus meresap dalam benak masyarakat. Seolah-olah masyarakat hanya bisa menunggu apakah janji para selebritas politik kita akan menjadi semanis madu seperti saat kampanye, atau justru berubah menjadi pil pahit. Apakah janji-janji itu hanya akan menjadi janji palsu?

Moralitas bangsa kita tengah menghadapi ujian berat akibat virus keserakahan tanpa batas, yang dapat digambarkan sebagai makhluk “palsu.” Dalam kontestasi politik, ada ungkapan yang menyakitkan: “Lebih baik menang dengan bermasalah daripada kalah secara terhormat.” Pernyataan ini mencerminkan metabolisme politik yang tidak sehat, menjadikan politisi sebagai “predator puncak” dalam ekosistem demokrasi yang idealnya sehat. Hal ini diperparah oleh berita tentang tanda tangan palsu dan berbagai pelanggaran moral lainnya, yang jika benar adanya, merupakan tanda kebangkrutan nilai estetika politik yang bermoral.

Entah sejak kapan, etika dan moral, yang dulu menjadi pandangan hidup tertinggi manusia beradab, berubah menjadi monster peradaban. Menghalalkan segala cara adalah bentuk kepalsuan paling canggih dalam kehidupan sehari-hari. Dengan dukungan teknologi informasi, kepalsuan semakin sulit diidentifikasi. Wajah-wajah otentik semakin langka; wajah “oplosan” kehidupan telah menyembunyikan kesucian pikiran yang sehat. Hegemoni ekonomi pun menjelma menjadi patron baru dalam tatanan sosial masyarakat. Sementara itu, narsisme politik menjadi tujuan utama, mengabaikan rambu-rambu hukum dan etika.

Pada akhirnya, ada pertanyaan yang terus menghantui: Nikmat apa lagi yang kau dustakan? Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan…

Dalam sebuah dialog imajiner, muncul pertanyaan purba: siapa musuh sejati akal sehat dan moral kita? Mengapa moralitas defisit, sementara kepalsuan surplus? Jawaban atas pertanyaan itu sederhana, namun mendalam: musuh abadi kita adalah diri kita sendiri. Kini saatnya meningkatkan rasa malu dan melawan kemunafikan secara radikal dan simultan.

Suatu malam, saat makan bersama teman di sebuah warung kaki lima yang menyajikan rasa setara restoran berbintang, tiba-tiba gigi palsu teman saya lepas saat ia mengunyah ayam goreng kampung. Seketika, suasana makan berubah menjadi kelucuan alami yang terasa mahal dan langka. Ayam kampung yang kami nikmati mengingatkan saya akan pengorbanannya: ia ikhlas menjadi santapan makhluk bernama manusia—manusia yang omnivora, pemakan segala.

Namun, manusia omnivora dalam politik berbeda. Mereka tidak memiliki rasa kenyang. Yang terpikir setiap hari adalah, siapa lagi yang akan dimakan esok hari? Inilah gambaran nyata dari zombi dalam kehidupan kita. ***

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|