Kartini: Cahaya yang Merobek Gelap, Cermin untuk Bangsa Kini

2 weeks ago 24
Portal Buletin Dini Tepat Online

INIPASTI.COM,  Raden Ajeng Kartini, nama yang bukan sekadar catatan sejarah, melainkan getar yang hidup, suara yang menolak diam. Ia adalah paradoks: perempuan Jawa yang terikat adat, namun membebaskan diri dengan pena dan pikiran. Dalam surat-suratnya, yang kini dikenal sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang, ia menuliskan mimpi tentang kesetaraan, pendidikan, dan kebebasan—mimpi yang, di Indonesia 2025, masih bergulat dengan kenyataan yang setengah terang, setengah kelam. Hari Kartini, yang kita rayakan setiap 21 April, bukanlah sekadar parade kebaya atau lomba puisi. Ia adalah undangan untuk menimbang jasa dan peran Kartini, sekaligus menatap wajah bangsa kita saat ini, di tengah harapan yang rapuh dan kegamangan yang nyata.

Kartini, lahir di Jepara pada 21 April 1879, adalah anak priyayi yang mendapat anugerah langka: akses ke dunia huruf. Ia belajar di Europeesche Lagere School hingga usia 12 tahun, sebelum pingitan menutup pintu dunia luarnya. Namun, dalam kesunyian itu, ia menemukan kebebasan. Buku-buku, surat kabar, dan korespondensi dengan sahabat-sahabatnya di Belanda menjadi jendelanya. Dari sana, ia menulis tentang ketidakadilan: perempuan yang dikurung tradisi, poligami yang ia tentang, pendidikan yang hanya milik segelintir. Jasa terbesarnya adalah sekolah untuk perempuan pribumi yang ia dirikan—langkah kecil, namun bagai percikan api di tengah kegelapan. Ia percaya, seperti yang ia tulis, bahwa perempuan adalah pilar peradaban, bahwa tanpa kebebasan mereka, sebuah bangsa tak akan pernah tegak.

Peran Kartini bukan hanya pada sekolah itu, atau pada surat-suratnya yang penuh gairah. Ia adalah lambang perlawanan yang lembut namun teguh, seperti air yang mengikis batu. Ia tidak menentang ayahnya dengan amarah, tetapi dengan tulisan, dengan pikiran, dengan tindakan dalam batas-batas yang mungkin. Tulisannya di De Hollandsche Lelie dan kumpulan surat yang diterbitkan J.H. Abendanon adalah senjata intelektualnya, yang membuka mata dunia bahwa perempuan pribumi bukanlah bayang-bayang, melainkan manusia dengan hak atas ilmu, pilihan, dan harga diri.

Tetapi, jika kita menoleh ke Indonesia kini, pada 22 April 2025, apakah nyala Kartini masih berkobar? Bangsa ini telah melangkah jauh. Perempuan kini duduk di kursi-kursi kekuasaan: di parlemen, di kementerian, di puncak perusahaan. Data dari daerah seperti Sinjai pada 2020 menunjukkan partisipasi perempuan yang meningkat di berbagai bidang. Namun, di balik angka-angka itu, kegelapan masih mengintai. Kekerasan terhadap perempuan, dari rumah tangga hingga ruang publik, tetap menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Pendidikan bagi anak-anak perempuan di pelosok masih terhambat kemiskinan dan jarak. Media sosial, yang seharusnya jadi ruang kebebasan, sering kali menjadi gelanggang penghakiman atas tubuh, pilihan, atau suara perempuan.

Kondisi bangsa saat ini, di tengah arus digital dan krisis lingkungan, menuntut lebih dari sekadar kenangan manis tentang Kartini. Ia tidak hanya berbicara tentang sekolah, tetapi tentang keberanian untuk bertanya, untuk menolak apa yang salah. Di zaman ketika informasi melimpah namun kebenaran kerap tenggelam, kita membutuhkan jiwa-jiwa yang tak sekadar mengikuti, tetapi menciptakan. Peringatan Hari Kartini 2025, seperti yang digaungkan di Kotawaringin Barat dengan tema “Perempuan Tangguh, Generasi Unggul,” adalah pengingat bahwa emansipasi bukanlah garis akhir, melainkan jalan yang terus ditempuh.

Kartini hidup di persimpangan: antara tradisi dan modernitas, antara pengorbanan dan pemberontakan. Ia terkurung adat, namun merangkul dunia melalui bahasa Belanda dan ide-ide universal. Di 2025, persimpangan itu masih ada. Kita bangga dengan perempuan yang memimpin, namun masih bergumul dengan budaya yang meremehkan mereka. Kita merayakan teknologi, tetapi lupa bahwa teknologi bisa memperlebar jurang, termasuk jurang antara laki-laki dan perempuan. Kartini mengajarkan bahwa perubahan dimulai dari langkah kecil: sebuah surat, sebuah sekolah, sebuah pemikiran. Hari ini, perubahan itu mungkin adalah seorang ibu yang mengajarkan anaknya kesetaraan, seorang aktivis yang memperjuangkan upah adil bagi pekerja perempuan, atau seorang anak muda yang menolak stereotip di sekitarnya.

Hari Kartini bukan sekadar perayaan, tetapi cermin. Ia memaksa kita bertanya: apakah kita telah cukup berani meneruskan mimpinya? Apakah bangsa ini telah memberi ruang bagi setiap perempuan untuk menjadi dirinya sendiri, bukan sekadar simbol atau bayangan? Kartini pernah menulis tentang terang yang datang setelah gelap. Pertanyaannya kini, apakah kita berani melangkah ke terang itu, atau kita puas berdiam di ambangnya, memandang cahaya dari kejauhan?


Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|