Oleh: Suprihaty Prawaty Nengtias (Ketua KPU Provinsi Sulawesi Tenggara)
SULTRAKINI.COM: Demokrasi tidak semata-mata diukur dari keberhasilan menyelenggarakan pemilihan umum secara rutin, tetapi dari sejauh mana sistem politik mampu menjamin partisipasi yang setara bagi seluruh warga negara. Dalam konteks ini, kehadiran perempuan di ruang politik seharusnya tidak lagi dipahami sebagai pemenuhan kuota atau simbol representasi belaka, melainkan sebagai pilar penting bagi demokrasi yang sehat, inklusif, dan berkeadilan.
Perempuan merupakan setengah dari populasi bangsa. Mengabaikan atau membatasi peran mereka dalam proses pengambilan keputusan publik berarti membiarkan demokrasi berjalan timpang. Representasi politik perempuan bukanlah isu sektoral, melainkan persoalan fundamental yang menyangkut kualitas demokrasi dan legitimasi kebijakan publik.
Pengalaman hidup perempuan kerap berbeda dengan laki-laki, terutama dalam isu-isu yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Persoalan kesehatan reproduksi, kekerasan berbasis gender, kesenjangan upah, akses pendidikan bagi anak perempuan, hingga beban kerja domestik yang tidak seimbang merupakan realitas sosial yang masih dihadapi banyak perempuan di Indonesia. Tanpa keterlibatan perempuan dalam lembaga legislatif maupun eksekutif, kebijakan yang lahir berpotensi tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan tersebut, bahkan berisiko bias.
Kehadiran perempuan di ruang pengambilan keputusan memungkinkan proses perumusan kebijakan berlangsung lebih komprehensif. Perspektif yang dibawa perempuan memperkaya diskursus publik dan mendorong lahirnya kebijakan yang lebih responsif terhadap kelompok rentan, sekaligus lebih dekat dengan realitas sosial di tingkat akar rumput.
Sejumlah kajian internasional menunjukkan bahwa meningkatnya partisipasi perempuan dalam politik berkorelasi dengan perbaikan kualitas tata kelola pemerintahan. Kepemimpinan perempuan sering dikaitkan dengan tingkat akuntabilitas yang lebih tinggi, kecenderungan membangun kolaborasi lintas kepentingan, serta perhatian yang lebih besar pada sektor pembangunan manusia, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Orientasi kebijakan semacam ini menjadi fondasi penting bagi kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kontribusi perempuan juga semakin relevan. Keragaman pengalaman hidup membuat perempuan cenderung mendorong kebijakan yang mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap keluarga, komunitas, dan lingkungan. Peran perempuan sebagai agen perubahan terlihat jelas dalam isu-isu strategis, seperti penanganan perubahan iklim, pembangunan perdamaian, dan penguatan ketahanan sosial di tingkat lokal.
Lebih jauh, kehadiran perempuan di panggung politik memiliki makna simbolik yang kuat. Hal ini menantang stereotip gender yang selama ini membatasi perempuan pada ruang domestik serta menunjukkan bahwa kepemimpinan bukanlah domain eksklusif satu gender. Setiap perempuan yang tampil sebagai anggota parlemen, menteri, atau kepala daerah menjadi representasi nyata bahwa politik adalah ruang yang terbuka bagi siapa pun yang memiliki kapasitas dan integritas.
Dampak simbolik ini sangat penting bagi generasi muda. Anak-anak perempuan yang melihat figur pemimpin perempuan akan tumbuh dengan keyakinan bahwa aspirasi politik adalah hak, bukan privilese. Dengan demikian, representasi perempuan tidak hanya berdampak pada kebijakan hari ini, tetapi juga membentuk masa depan demokrasi.
Partisipasi politik perempuan juga merupakan bagian tak terpisahkan dari pemenuhan hak asasi manusia. Konvensi internasional, seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), menegaskan hak perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan politik dan publik. Demokrasi kehilangan legitimasi moralnya ketika separuh warganya tidak memiliki kesempatan yang setara untuk memengaruhi keputusan yang mengatur hidup mereka.
Namun demikian, jalan perempuan di dunia politik masih dihadapkan pada berbagai tantangan struktural dan kultural. Bias internal dalam partai politik, keterbatasan akses terhadap sumber daya politik, beban ganda pekerjaan domestik, hingga kekerasan dan ujaran kebencian berbasis gender dalam politik masih menjadi hambatan nyata. Fenomena political gender-based violence bahkan menjadi ancaman serius yang dapat menghalangi partisipasi perempuan secara bebas dan aman.
Menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan komitmen kolektif dari seluruh pemangku kepentingan. Kebijakan afirmatif harus diterapkan secara konsisten dan tidak berhenti pada tataran formal. Pendidikan politik dan kepemimpinan bagi perempuan perlu diperkuat sejak dini. Dukungan sistemik, termasuk pendanaan kampanye yang lebih adil serta penciptaan lingkungan politik yang aman dan bebas dari kekerasan, menjadi prasyarat mutlak. Pada saat yang sama, perubahan budaya di tingkat keluarga dan masyarakat diperlukan untuk mendistribusikan tanggung jawab domestik secara lebih setara.
Pada akhirnya, meningkatkan partisipasi politik perempuan bukanlah bentuk “pemberian” atau “kebaikan hati” negara, melainkan investasi strategis bagi masa depan bangsa. Demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang memanfaatkan seluruh potensi warganya tanpa diskriminasi. Ketika perempuan diberi ruang yang setara untuk berkontribusi dan memimpin, manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh perempuan, tetapi oleh seluruh masyarakat.
Suara perempuan dalam politik adalah suara kemajuan—suara keadilan, keberlanjutan, dan demokrasi yang lebih hidup bagi semua.***

2 days ago
10

















































