SULTRAKINI.COM: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai pernyataan sejumlah pejabat negara terkait pemberitaan banjir di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat berpotensi menekan kebebasan pers serta mengancam peran media sebagai pengawas kekuasaan. Pernyataan tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers sebagaimana dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Penilaian itu muncul menyusul pernyataan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak dan Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya yang disampaikan pada Jumat, 19 Desember 2025. Dalam konteks bencana banjir yang melanda tiga provinsi tersebut, kedua pejabat meminta media tidak menonjolkan kekurangan pemerintah dan lebih menekankan narasi positif.
“Kalau ada hal kekurangan pasti banyak kekurangan. Tolong informasikan kami kekurangan itu, jangan diekspos lewat media,” ujar Jenderal Maruli Simanjuntak saat berada di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, seperti dikutip dari Tempo.
Pada hari yang sama, Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya juga meminta media berhati-hati dalam menyampaikan pertanyaan dan pernyataan. “Sampaikan pernyataan dan pertanyaan yang bijak. Jangan menggiring seolah pemerintah tidak bekerja, petugas di lapangan tidak bekerja. Semua membutuhkan kerja sama, kekompakan, dan energi positif,” kata Teddy melalui kanal YouTube BNPB.
AJI menilai pernyataan tersebut berpotensi menimbulkan tekanan psikologis terhadap jurnalis dan redaksi media, terutama dalam situasi krisis kemanusiaan. Narasi yang mendorong media untuk menahan kritik dinilai dapat mengarah pada pengekangan peran pers sebagai watchdog, sekaligus memicu praktik swasensor di ruang redaksi.
“Memberitakan upaya pemerintah tidak berarti menutup ruang kritik. Justru kritik berbasis fakta merupakan bagian dari akuntabilitas publik dan upaya perbaikan kebijakan penanganan bencana,” kata Nany Afrida, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Menurut AJI, pembatasan akses informasi, kontrol sepihak terhadap data, dan pemaksaan narasi resmi kerap dilakukan dengan dalih menjaga ketertiban dan mencegah kepanikan. Namun dalam praktiknya, hal tersebut justru berpotensi mengaburkan realitas di lapangan, mulai dari skala kerusakan, keterlambatan distribusi bantuan, hingga lemahnya mitigasi bencana.
AJI juga menyoroti meningkatnya praktik intimidasi, penghalangan liputan, serta pelabelan “berita negatif” terhadap karya jurnalistik kritis. Kondisi ini, jika dibiarkan, dapat mendorong media menarik atau melemahkan pemberitaan kritis pascabencana sehingga publik kehilangan hak atas informasi yang utuh dan akurat.
Studi yang tengah dijalankan AJI Indonesia menunjukkan tren swasensor di media nasional kian meningkat. “Jika represi terselubung terhadap pers terus berlangsung, kebebasan pers di Indonesia menghadapi ancaman serius dan berisiko mundur ke praktik otoritarianisme,” ujar Sunudyantoro, Ketua Bidang Pendidikan dan Etik AJI Indonesia.
AJI menegaskan bahwa Undang-Undang Pers menjadi fondasi utama dalam menjamin fungsi pers sebagai penyampai informasi, kontrol sosial, dan sarana pendidikan publik, termasuk dalam situasi darurat bencana. Jurnalis bekerja berdasarkan prinsip jurnalistik melalui reportase lapangan, konfirmasi, serta verifikasi berlapis demi memastikan akurasi informasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, AJI Indonesia menyampaikan empat tuntutan, yakni:
Kepala Staf TNI AD Jenderal Maruli Simanjuntak dan Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya diminta menarik kembali pernyataannya serta menyampaikan permintaan maaf kepada publik.
Pemerintah diminta membuka akses seluas-luasnya dan memberikan perlindungan keamanan bagi jurnalis dan media dalam meliput bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Dewan Pers didesak bersikap tegas untuk membela dan melindungi jurnalis serta media dari ancaman dan intimidasi.
Para pemimpin redaksi diminta menjaga independensi ruang redaksi dan tetap berpihak pada kepentingan publik.

2 days ago
10

















































