Rektor Paramadina Usulkan Model Campuran Pilkada untuk Tekan Biaya Politik dan Manipulasi AI

1 day ago 8
Gambar: Editing dan gambar ini dibuat oleh AI berdasarkan release dari Rektor Universitas Paramadina Jakarta, yang diterima SultraKini.com, Selasa (23 Desember 2025).

SULTRAKINI.COM: JAKARTA – Wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali mengemuka menyusul tingginya biaya politik dan meningkatnya manipulasi teknologi dalam demokrasi elektoral. Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, Ph.D., menilai bahwa baik pemilihan langsung maupun tidak langsung sama-sama memiliki persoalan serius, sehingga diperlukan inovasi sistem demokrasi yang lebih adaptif terhadap tantangan zaman, khususnya di era teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI).

Isu ini mencuat setelah Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, kembali mengusulkan agar pilkada dilaksanakan secara tidak langsung guna menekan biaya politik yang dinilai sangat mahal. Namun, menurut Prof. Didik, pemilihan tidak langsung juga berpotensi menimbulkan masalah baru karena hanya melibatkan elite politik dan berisiko membatasi partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya.

Prof. Didik mengingatkan bahwa Presiden Prabowo Subianto sebelumnya juga pernah menyampaikan gagasan serupa. Dalam pidatonya pada puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, 12 Desember 2024, Presiden mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD sebagai upaya efisiensi dan untuk mengurangi dampak sosial yang ditimbulkan dari kontestasi langsung. Meski demikian, usulan tersebut menuai penolakan dari berbagai kalangan karena dianggap berpotensi mengembalikan praktik demokrasi elitis seperti pada masa Orde Baru dan menghilangkan hak pilih rakyat.

Menurut Prof. Didik, perdebatan ini terus bergulir karena biaya ekonomi dan non-ekonomi dari pilkada langsung semakin tinggi. Presiden Prabowo juga menilai bahwa praktik pemilihan tidak langsung telah diterapkan di sejumlah negara lain dengan tingkat efisiensi yang lebih baik. Namun demikian, ia mengakui bahwa sistem pemilihan langsung saat ini juga menghadapi tantangan serius akibat penetrasi teknologi digital.

“Selama dua dekade terakhir, pemilihan langsung tidak lagi murni menjadi ruang dialog demokrasi, melainkan telah dipenuhi oleh keterlibatan buzzer, bot, dan kecerdasan buatan yang bersifat manipulatif,” ujar Prof. Didik. Ia menilai, meskipun pemilihan langsung mengusung prinsip one man one vote, praktik di lapangan justru membuka ruang eksploitasi oleh elite yang menguasai modal dan teknologi.

Lebih lanjut, Prof. Didik menyoroti bahwa kehadiran AI, buzzer, dan bot telah menggeser suara hati nurani rakyat menjadi dominasi suara mesin. Akibatnya, demokrasi melahirkan kepemimpinan berbasis pencitraan, bukan kepemimpinan yang mencerminkan kehendak autentik masyarakat. Kondisi ini dinilainya sebagai bentuk “penjajahan baru” terhadap demokrasi oleh teknologi yang tidak memiliki fondasi moralitas.

Namun demikian, Prof. Didik juga menegaskan bahwa menghapus pemilihan langsung sepenuhnya dan kembali ke sistem lama seperti pada masa pemerintahan Presiden Soeharto juga bukan solusi. Langkah tersebut justru berisiko melahirkan kembali demokrasi elitis dan otoriter. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya peran negara dalam mengatur penggunaan teknologi digital, termasuk AI dan buzzer politik, agar tidak merusak sendi-sendi demokrasi. Dalam konteks ini, ia menilai Kementerian Komunikasi dan Digital masih menghadapi tantangan besar dalam merumuskan regulasi yang seimbang antara kebebasan berekspresi dan perlindungan demokrasi dari manipulasi teknologi.

Prof. Didik menegaskan bahwa demokrasi sejatinya berakar pada kebebasan berbicara manusia sebagai makhluk bermoral, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sebaliknya, mesin, bot, dan AI tidak memiliki hak berbicara karena praktik yang dijalankan cenderung bersifat manipulatif, bukan dialogis. Dominasi teknologi tanpa kendali, menurutnya, telah merusak kualitas demokrasi dan turut membentuk karakter politisi yang semakin pragmatis dan manipulatif.

Dalam pandangan Prof. Didik, kondisi demokrasi saat ini menunjukkan tanda-tanda kerusakan serius. Rendahnya literasi informasi masyarakat, ditambah derasnya arus manipulasi digital, membuat tujuan luhur demokrasi semakin menjauh. Meski demikian, ia menilai bahwa kembali sepenuhnya ke sistem pemilihan tidak langsung juga tidak relevan dengan perkembangan zaman dan justru berpotensi melahirkan oligarki tertutup.

Sebagai solusi, Prof. Didik mengajukan inovasi politik berupa model campuran (mixed method) dalam penyelenggaraan pilkada. Dalam skema ini, pemilihan kepala daerah tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat, melainkan melalui DPRD. Namun, untuk menjaga unsur partisipasi publik, calon gubernur, bupati, dan wali kota tidak ditentukan oleh elite partai, melainkan berasal dari tiga anggota DPRD terpilih dengan perolehan suara terbanyak di daerah masing-masing.

“Model ini merupakan jalan tengah antara demokrasi liberal yang kini mengalami distorsi dan sistem pemilihan tertutup ala Orde Baru,” ujar Prof. Didik. Ia berharap inovasi tersebut dapat menjadi alternatif kebijakan yang lebih efisien, demokratis, serta mampu menjaga stabilitas politik dan kesejahteraan rakyat di tengah tantangan era digital.

Laporan: Frirac

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|