SULTRAKINI.COM: Menjelang akhir tahun, refleksi atas perjalanan demokrasi menjadi kebutuhan bersama. Salah satu simpul terpenting yang layak direnungkan adalah penyelenggaraan pemilihan umum—sebuah proses yang tidak sekadar ritual politik lima tahunan, tetapi mekanisme fundamental dalam memastikan kedaulatan rakyat benar-benar bekerja.
Pemilu adalah jantung demokrasi elektoral. Dari proses inilah mandat kekuasaan dilahirkan, legitimasi politik ditegakkan, dan arah pemerintahan ditentukan. Namun, pemilu yang sekadar terlaksana belum tentu demokratis. Kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh satu faktor kunci yang tak dapat ditawar: integritas. Dan integritas itu, dalam praktiknya, dijalankan oleh manusia-manusia yang mengelola pemilu, dari tingkat pusat hingga tempat pemungutan suara (TPS).
Integritas penyelenggara pemilu bukan konsep normatif yang mengawang. Ia mewujud dalam sikap netral, keteguhan pada prosedur, keberanian menghadapi tekanan, transparansi dalam pengambilan keputusan, serta akuntabilitas terhadap publik. Ketika nilai-nilai ini melekat pada setiap individu dan institusi penyelenggara—baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun seluruh jajarannya—maka fondasi pemilu yang kredibel sesungguhnya telah ditegakkan.
Pengalaman berbagai pemilu menunjukkan bahwa tantangan terbesar bukan hanya pada kompleksitas teknis, tetapi juga pada godaan politis. Oleh karena itu, refleksi akhir tahun ini penting untuk menegaskan kembali beberapa dimensi integritas yang menentukan kualitas pemilu.
Pertama, integritas teknis-administratif merupakan benteng awal kepercayaan publik. Akurasi daftar pemilih, ketepatan distribusi logistik, serta transparansi penghitungan suara adalah aspek mendasar. Kelalaian sekecil apa pun pada aspek ini dapat memicu keraguan publik dan memperlemah legitimasi hasil pemilu. Apresiasi patut diberikan kepada para penyelenggara yang bekerja dalam keterbatasan sumber daya dan medan yang tidak mudah, namun evaluasi jujur tetap diperlukan agar kesalahan yang terjadi tidak berulang.
Kedua, integritas moral dalam menjaga netralitas. Penyelenggara pemilu bukanlah peserta kontestasi, melainkan wasit yang menjamin permainan berjalan adil. Tekanan politik, relasi kekuasaan, dan preferensi personal merupakan ujian serius. Pemilu yang berintegritas ditandai oleh persepsi publik bahwa penyelenggara berdiri di atas semua kepentingan, bertindak setara, dan bebas dari keberpihakan.
Ketiga, integritas dalam penegakan hukum pemilu. Di sinilah peran pengawasan menjadi krusial. Integritas tidak cukup dimaknai sebagai ketiadaan pelanggaran, tetapi juga keberanian menindak setiap pelanggaran secara konsisten dan berkeadilan. Penegakan hukum yang tegas dan tidak diskriminatif menjadi pesan moral bahwa aturan bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen keadilan demokrasi.
Keempat, integritas dalam komunikasi dan transparansi informasi. Di era keterbukaan dan banjir informasi, ketertutupan justru melahirkan spekulasi dan misinformasi. Penyampaian informasi yang cepat, jelas, dan mudah diakses publik merupakan bagian dari etika penyelenggaraan pemilu modern. Tentu, keterbukaan ini harus tetap sejalan dengan perlindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Namun, pemilu berintegritas bukan semata-mata tanggung jawab penyelenggara. Ia adalah kerja kolektif seluruh ekosistem demokrasi. Penyelenggara, peserta, dan pemilih memiliki peran yang saling terkait.
Penyelenggara pemilu dituntut membangun dan menjaga kepercayaan publik. Tanpa trust, prosedur sebaik apa pun akan kehilangan makna. Sebagaimana ditegaskan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), demokrasi yang lahir dari pemilu harus menghasilkan pemimpin berintegritas, dan pemilu berintegritas hanya mungkin terwujud jika diselenggarakan oleh penyelenggara yang berintegritas.
Peserta pemilu pun memikul tanggung jawab moral. Pemilu adalah sarana memperoleh mandat untuk melayani publik, bukan sekadar arena perebutan kekuasaan. Ketika kontestasi dijalankan secara etis, maka hasilnya akan memperkuat legitimasi pemerintahan.
Adapun pemilih berintegritas merupakan penjaga terakhir (ultimate check and balance) demokrasi. Ketika suara diperdagangkan atau dipilih karena tekanan, demokrasi berisiko tergelincir menjadi plutokrasi—kekuasaan oleh uang—atau oklokrasi, kekuasaan massa yang mudah dimanipulasi. Karena itu, membangun pemilih yang berintegritas sejatinya adalah investasi jangka panjang bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Pada akhirnya, pemilu berintegritas bukan tujuan akhir, melainkan sarana menuju tujuan yang lebih besar: pemerintahan yang legitimate, stabilitas politik yang berkelanjutan, serta kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi. Ketika integritas penyelenggara terjaga, rakyat yakin bahwa suaranya bermakna dan kedaulatan benar-benar berada di tangan mereka.
Menutup tahun ini, mari kita perbarui komitmen bersama: integritas pemilu adalah tanggung jawab kolektif. Dari sanalah fondasi demokrasi Indonesia dapat terus diperkuat, bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. ***

1 day ago
7

















































