Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Siapapun berharap, semoga anggota legislatif yang mulia—yang merupakan representasi aspirasi rakyat, benar-benar dapat melindungi dan menyejahterakan rakyat. Bukan sekadar menyejahterahkan diri sendiri, keluarga dan segelintir konco-konconya. Semoga anggota legislatif, bukan manusia-manusia yang berprinsip “aji mumpung.” Artinya, mumpung ada kesempatan untuk mengisi “pundi-pundi” pribadi. Semoga bukan kategori manusia yang doyan gertak eksekutif, lalu “adem ayem”—diam setelah berkompensasi ria dengan eksekutif, misal dengan kompensasi proyek, atau iming-iming material lainnya, mobil cicil atau “dicicilkan” misal. Anggota legislatif yang dapat menyenangkan hati rakyat yang diurusnya, bukan menyengsarakannya. Semoga anggota legislatif selalu memperhatikan pembangunan untuk rakyat, bukan sibuk membangun rumah-rumah mewah ataupun bangunan lain untuk dirinya sendiri. Semoga tidak menjadi anggota legislatif yang bersibuk ria mencari proyek-proyek dengan dalih dan atas nama keluarga atau konco-konconya. Semoga menjadi wakil rakyat yang benar-benar nemikirkan rakyat dan merakyat. Anggota legislatif yang tetap memikirkan rakyat saban waktu, bukan ketika Pemilihan legislatif tiba. Anggota legislatif yang jauh dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Itulah secuil harapan semua masyarakat yang memilihnya.
Dalam tulisan ringan ini, penulis numpang titip pesan, tentang sepak-terjang dewan selama ini, bukan legislatif kita, namun legislatif di “negeri antah-berantah” dengan pusparagam kritik, sindiran, cibiran, dan apapun namanya, yang bukan lagi rahasia, tetapi telah menjadi pengetahuan umum rakyat. Penulis ingin membuka “file memori” pembaca, semoga pengalaman tersebut, menjadi cermin pengingat bagi anggota legislatif, agar tidak menjadi anggota legislatif yang lupa diri.
Di penghujung era keemasan Orba, sempat bergulir isyu, seolah-olah eksekutif lebih kuat daripada legislatif. Atau, legislatif lebih rendah dan di bawah eksekutif. Tegasnya, legislatif sebagai lembaga dinilai lebih rendah dari pemerintah. Isyu ini muncul dan dapat dipahami, mengingat selama 32 tahun berkuasa legislatif benar-benar tidak berani melakukan “teguran”, apatah lagi bermaksud melakukan “impeachment”—pemberhentian kepada eksekutif, terutama kepala daerah. Era itu, masalah “kuat-kuatan” atau “tinggi-tinggian” antara eksekutif dan legislatif tidak terlalu dipersoalan. Namun, sejak era Reformasi, “kuat-kuatan” tersebut mencuat, dan alhasil mampu mengimpeachment atau menglengserkan Habibie dan Gus Dur dari kursi Presiden dan beberapa kepala daerah. Ada beberapa negara yang pernah melakukan pemakzulan atau impeachment kepala negara, di antaranya : pertama, Donald Trump. Selama masa jabatannya, Presiden Amerika Serikat periode 2017-2021 ini telah dimakzulkan sebanyak dua kali. Ia dibebaskan oleh Senat dalam kedua kasus tersebut. Kedua, Park Geun Hye, Presiden Korea Selatan. Pada Mei 2017, Mahkamah Konstitusi Korea Selatan menguatkan pemakzulan Presiden Park Geun-hye, memecatnya dari jabatan karena skandal korupsi yang telah melanda negara tersebut selama berbulan-bulan. Ketiga, Alberto Fujimori, Presiden Peru. Pada 21 November 2000, Kongres memakzulkan Presiden Peru Alberto Fujimori yang dituduh melakukan korupsi atas dasar “ketidakmampuan moral permanen”, yang mengakhiri drama politik selama berminggu-minggu. Keempat, Carlos Andres Perez, Presiden Venezuela. Presiden Venezuela ini pertama kali memimpin ngaranya pada 1974- 1979. Dalam masa kepimimpinannya, Ia menasionalisasikan industri minyak hingga negara tersebut dijuluki “Saudi Venezuela”. Ia menjalin hubungan diplomatik dengan Kuba di bawah kepemimpinan Castro, menentang kediktatoran Somoza di Nikaragua dan mendukung upaya Panama untuk mendapatkan kedaulatan atas Terusan Panama dari AS.
Virus “Syndroma Volksraad”
Kalau kita memutar kembali kaleidoskop—rentang sejarah, terutama di era kejayaan Orde Baru, tidak sedikit sindiran sinis yang dilontarkan masyarakat terhadap eksistensi dan lakon legislatif, walau tidak semuanya benar dan proporsional. Deretan sindiran sinis yang sempat bergulir di era Orba, di antaranya : dewan tidak lebih dari sekadar “tukang stempel” atau “tukang ketuk palu”; dewan diibaratkan macan ompong; mandul, tidak dihalalkan interupsi; tidak punya nyali yang kuat; kurang mandiri; kurang kritis; lamban; tidak lebih dari sebuah “agen birokrasi”—eksekutif; super patuh; bermental “setuju-setuju” saja; isu suap; eksklusivisme—mengadakan rapat-rapat dari hotel mewah ke hotel mewah; jarang menghadiri sidang-sidang, kalaupun datang hanya mengisi daftar hadir tanpa fisik–dan kalaupun hadir mereka melakukan apa yang sering disebut “penyakit”—sindrom “Lima D”. Yaitu Datang, Daftar, Duduk, Diam, dan Duit; rentan di-“recal”; dan lain-lain tuduhan. Sekali lagi, tidak semua benar. Tapi, itulah sindiran yang pernah ditujukan kepada legislatif —yang konon penjelmaan rakyat. Adakah wakil rakyat era pasca Reformasi sekarang yang bermental demikian ? Wallahualam ! Khususnya dewan era pra Reformasi, konon dari segi SDM dipermasalahkan dan dinilai rendah, terutama munculnya politisi dadakan dengan partai-partai dadakan.
Selain cemoohan ‘pahit’ tersebut, konon wakil rakyat–legislatif kita sering dihinggapi virus penyakit yang disebut “Syndroma Volksraad”. Bagaimana wujudnya ? Syndroma volksraad yaitu para wakil rakyat–legislatif merasa lebih lemah daripada eksekutif dan seolah dibentuk oleh pemerintah. Perilaku mereka sering rancu menyangkut pemerintah, sehingga tidak jelas siapa sebenarnya wakil rakyat.
“Syndroma Neofeodalisme”
Apa masih ada penyakit atau sindrom-sindrom lain ? Ya. Yakni “syndroma neofeodalisme”. Menurut Rizal Mallarangeng (Jakarta Post, 27/12/1996), anggota legislatif yang sekarang (maaf, bukan dewan era pasca Reformasi, penulis) masih diwarnai sindrom neofeodalisme. Di tingkat elite, ada kecenderungan anak pejabat memperoleh peranan penting, baik ekonomi maupun politik. Namun di pihak lain, yang diragukan orang dari para anggota legislatif yang sekarang, karena cara mereka menduduki kursi terhormat itu, masih dinilai sangat tradisional (feodal). Mereka memperoleh itu bukan karena kualitas profesi. Tetapi karena diwariskan oleh para orang tua mereka. Atau lebih sering dinamakan refeodalisasi. “Itu era Orba !”.
Nah, di era pasca reformasi sekarang, masih adakah virus-virus penyakit tersebut diidap oleh anggota dewan–legislatif yang terhormat tersebut ? Penulis tidak perlu memberi jawaban. Kunci jawabannya ada pada masing-masing pembaca yang budiman nan arif.
Pada penjelasan berikut ini, penulis tidak bernafsu membongkar borok-borok wakil rakyat, baik pada era Orba maupun era Reformasi. Cukuplah secuil borok di awal tulisan ini yang dibongkar. Penulis ingin berurun-rembuk membicarakan trend akhir-akhir ini, gayutannya dengan posisi wakil rakyat, terutama sejak era pasca Reformasi posisi wakil rakyat mulai “bergigi”, terkhusus “local impeachment”—pemberhentian terhadap kepala daerah oleh anggota dewan daerah. Ini prestasi baru bagi legislatif pasca reformasi.
Beberapa waktu, banyak laporan pertanggungjawaban kepala daerah ditolak legislatif yang diakhiri dengan impeachment, setidak-tidaknya peringatan. Beberapa kasus puluhan tahun adalah kasus Walikota Surabaya—“SS”. Dan “S”, bukan orang pertama yang diimpeachment dewan sejak era reformasi digulir. Banyak kepala daerah yang nasibnya sama, misalnya : Bupati Tabanan Bali, Padang, Padang Pariaman, Nias, Pontianak, Bitung Payakumbuh, Bupati Garut yang berinisial “H.AHMF, Bupat Bogor yang berinisial “H.RY”, Bupati Mojokerto yang berinisial “H.MKP”, Gubernur DKI Jakarta yang berinisial “BCP” dan masih banyak yang lainnya.
Ada beberapa alasan yang memungkinkan kepala daerah dapat diberi “kartu kuning” impeachment oleh legislatif. Pertama, pertanggungjawaban kepala daerah ditolak oleh legislatif. Kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah. Ketiga, melanggar sumpah dan janji kepala daerah. Keempat, melanggar larangan bagi kepala daerah. Kelima, mengalami krisis kepercayaan publik secara luas. Keenam, melakukan tindak pidana kejahatan yang dapat diancam hukuman kurungan lima tahun atau lebih. Ketujuh, diduga melakukan praktek makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan masih banyak alasan lain, misalnya persoalan moral, etika, dan penodaan agama.
Dari sekian alasan tersebut, lima alasan yang pertama melibatkan legislatif. Artinya impeachment tersebut akan dikenakan kepada kepala daerah, maka tidak langsung kepala daerah harus berhenti, melainkan harus melalui proses sidang legislatif. Dan sidang legislatif tersebut harus dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari seluruh anggota legislatif dan dua pertiga yang hadir harus menyetujui proses impeachment terhadap kepala daerah (Faisal Siagian, Suara Pembaruan, 13/7/2000).
Usai impeachment disetujui legislatif, kemudian diajukan kepada Presiden untuk diminta pengesahan. Sedangkan untuk kedua alasan yang terakhir, yaitu terbukti melakukan tindakan pidana kejahatan yang dapat diancam hukuman kurungan lima tahun atau lebih, serta diduga melakukan praktek makar terhadap NKRI, tidak membutuhkan persetujuan legislatif, karena langsung dilakukan oleh Presiden.
Merujuk pada beberapa regulasi yang ada, pertangungjawaban kepala daerah bisa diterima atau ditolak oleh anggota legislatif. Jika pertangungjawaban kepala daerah ditolak oleh legislatif, maka kepala daerah masih dapat memperbaiki dan menyempurnakan pertangungjawabannya paling lama 30 hari. Dan penolakan pertanggungjawaban oleh legislatif untuk kedua kalinya akan memungkinkan legislatif bisa melakukan proses impeachment, yaitu pemberhentian kepala daerah sebelum masa jabatannya berkhir.
Konsekuensinya, kepala daerah tidak boleh menganggap remeh posisi legislatif. Ia sewaktu-waktu, siap mengimpeachment kepala daerah. Ini koridor UU yang mengaturnya. Tapi impeachment tersebut, bukan karena tendensi-tendensi lain. Politis misalnya. Lalu dengan posisi kuat tersebut, legislatif seenaknya main gertak-gertakan. Namun, benar-benar demi kemashlahatan rakyat—yang anda sering atasnamakan itu. Jangan-jangan, karena legislatif merasa lebih kuat main ancam-ancam. Lantaran melihat ada kecurangan kepala daerah, dan kalau kepala daerah dapat memberikan “tip-tip” atau membungkamnya dengan “kompensasi” ba-bi-bu, atau “politik amplopisme” atau “politik kredit kendaraan”, lalu berhentilah ancam-ancamaan tersebut. Namun, impeachment tersebut, benar-benar berdasarkan koridor, bukan lantaran “sakit hati”, atau politik “balas dendam”.
Anggota dewan benar-benar harus dapat memposisikan dirinya sebagai wakil rakyat, politisi, pejabat negara dan menghilangkan kesan bahwa dewan sebagai penyalur aspirasi “an sich”.
Merajut Kemitraan
Kemitraan antara legislatif dan eksekutif harus dirajut dengan baik. Dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, DPRD pada hakektnya di samping merupakan lembaga resmi Negara yang mewakili rakyat, juga sebagai mitra eksekutif dalam merumuskan kebijakan dalam rangka melaksanakan pemerintah daerah. Selain itu, kedua lembaga ini mempunyai kedudukan yang berisifat sejajar (Koiruddin, 2014).
Kedudukan yang sejajar atau setara bermakna bahwa antara DPRD dan pemerintah daerah memiliki kedudukan yang sejajar dalam arti tidak ada saling membawahi satu sama lain. Hubungan bersifat kemitraan berarti DPRD merupakan mitra kerja pemerintah daerah dalam menyusun atau membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan untuk melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan hal tersebut kedua lembaga wajib memelihara dan membangun hubungan kerja yang harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung bukan sebagai lawan atau pesaing (Warsito, 2012).
Secara mendasar hubungan antara eksekutif dan legislatif meliputi hal-hal dalam lingkup : anggaran, pembuatan Peraturan Daerah, dan pengawasan. Dan bentuk hubungan legislatif dan eksekutif yang secara nyata dapat dilihat secara umum (Nurcholis, 2010) yaitu: pertama, bentuk komunikasi dan tukar-menukar pikiran. Kedua, bentuk kerjasama atas beberapa subjek, program, masalah, dan pengembangan regulasi. Ketiga, klarifikasi atas berbagai masalah. Bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dalam peran dan aktualisasi masing-masing pihak. Dalam hubungan tersebut dapat dikembangkan etika yang dapat mereflesikan bahwa DPRD bukan sebagai ancaman tetapi lembaga yang bekerja untuk kepentingan masyarakat. Sebaliknya pemerintah daerah diharapkan mampu menciptakan suasana kondusif yang mampu menciptakan kondusifitas yang dapat mendorong DPRD bekerja secara independent dan tetap kritis.
Ciri dari kemitraan adalah kesejajaran kedudukan, tidak ada pihak yang dirugikan dan bertujuan untuk meningkatkan keuntungan bersama. Membangun kemitraan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu persamaan perhatian, saling percaya dan saling menghormati, harus saling menyadari pentingnya kemitraan, harus ada kesepakatan visi, misi, tujuan dan nilai yang sama, harus berpijak pada landasan yang sama dan kesediaan untuk berkorban.
Kemitraan ialah kerja sama saling menguntungkan dalam hubungan setara dan interaktif, aktif, dan positif. Kemitraan akan berjalan efektif bila saling untung (profit), saling kebersamaan (together), saling empati (empathy), saling membantu (assist), saling dewasa (maturity), saling berkeinginan (willingness), saling teratur (organization), saling menghormati (respect), dan saling berbaik hati (kindness) (Jalal dan Supriyadi dalam Kamil, 2006).
Wujud nyata kemitraan dapat disepakati sebagai sebuah konsep kerjasama di man adalam operasionalisasinya tidak terdapat hubungan yang bersifat sub-ordinasi namunhubungan yang setara bagi semua ”parties”. Sehingga dalam konsepsinya kemitraan memiliki prinsip yang harus menjadi kesepahaman diantara yang bermitra dan harus ditegakkan dalam pelaksanaannya meliputi: prinsip partisipasi, prinsip gotong royong (sambat sinambat), prinsip keterbukaan (transparancy), prinsip penegakkan hukum (hak dan kewajiban, mengarah pada right-obligation, reward and punishment), dan prinsip keberlanjutan (sustainability).
Untuk membangun sebuah kemitraan, harus didasarkan pada hal-hal berikut : a. Kesamaan perhatian (common interest) atau kepentingan; b. Saling mempercayai dan saling menghormati; c. Tujuan yang jelas dan terukur; d. Kesediaan untuk berkorban baik, waktu, tenaga, maupun sumber daya yang lain. Strategi kemitraan merupakan strategi kerjasama yang terbentuk oleh karena adanya dimensi kepercayaan dan komitmen antara partner. Kepercayaan dan komitmen ini terbentuk karena adanya beberapa faktor yang berpengaruh di antaranya adalah faktor ketergantungan sumberdaya, faktor kualitas hubungan, faktor fleksibilitas, dan faktor penyebaran informasi (Harfina, dkk. 2012).
Sistem kemitraan bertumpu pada kepercayaan, dengan ciri-cirinya: (a) persamaan dan organisasi yang lebih landai, (b) hirarki aktualisasi yang luwes (di mana kekuasaan dipedomani oleh nilai-nilai seperti caring dan caretaking), (c) spiritualitas yang berbasis alamiah, (d) tingkat kekacauan yang rendah yang terbentuk dalam sistem, dan (e) persamaan dan keadilan gender (Rukmana, 2006).
Harmonisasi dalam Kemitraan
Agar tidak terjadi gesekan, benturan, pertentangan, konflik dalam kemitraan antara legislatif dengan eksekutif, perlu dilakukan harmonisasi. Harmoni diartikan sebagai keselarasan, kesesuaian, kecocokan, dan keseimbangan. Harmonisasi adalah suatu upaya dalam mencari keselarasan. Harmonisasi merupakan usaha bersama untuk menyamakan pandangan, penilaian atau langkah tindakan guna dapat mencapai tujuan atau target bersama (Rudy Satriyo Mukantardjo dalam Harfina, dkk. 2012). Dalam menciptakan harmonisasi, perlu diciptakan kesetaraan dan kesederajatan.
Mengapa harus diharmonisasikan? Tidak menutup kemungkinan berawal dari dua hal. Pertama, berawal dari keinginan sebelum melangkah, maka pihak-pihak yang turut berperan untuk mencapai tujuan atau target bersama tersebut harus menyatukan pemahaman sebelum masing-masing mengambil langkah. Kedua, kemungkinannya berawal dari telah terjadi satu atau banyak perbedaan pemahaman untuk mencapai tujuan atau target bersama.
Kemungkinan yang kedua, kalau tidak secepatnya diharmoniskan akan berakibat menghambat dalam usaha pencapaian tujuan atau target bersama.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan harmonisasi dalam kemitraan antara eksekutif dengan legislatif. Pertama, bahwa pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Artinya, kedudukan DPRD dan Kepala Daerah beserta jajarannya adalah sejajar. Bersama-bersama, sebagai mitra. Harus selalu sinergi dan selalu menjaga harmonisasi, agar masyarakat yang diwakili bisa tenang, damai. Menjaga sinergisitas kemitraan merupakan keniscayaan yang tidak boleh diabikan.
Kedua, Pemerintah Daerah dan DPRD, harus saling menghargai. Menyampaikan kritik, koreksi, interupsi boleh. Namun kritik harus disampaikan dengan baik, sesuai dengan norma. Ketiga, berkenaan dengan fungsi legislasi, agar DPRD dapat memaksimalkan fungsinya dengan melahirkan regulasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat guna melindungi hak, kewajiban dan kepentingan masyarakat di wilayah tugas masing-masing.
Kepala Daerah dan DPRD sejatinya adalah “nahkoda” bahtera birokrasi pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat dalam bingkai dan koridor Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang disusun dan disahkan bersama dengan Peraturan Daerah.
Check and Balances
Relasi antara DPRD dengan kepala daerah menjadi signifikan bagi penguatan demokrasi yaitu tidak terjadinya dominasi atau pilihan sepihak dalam kebijakan pemerintah daerah. Hal tersebut menjadi catatan saat kepala daerah di era otonomi saat ini dipilih langsung oleh rakyat melalui instrumen pemilihan kepala daerah. Inti dari pentingnya pemahaman relasi yang berlangsung dalam demokrasi lokal dimaksud adalah diharapkan terciptanya check and balances dalam proses konsultasi antara DPRD dengan kepala daerah.
Sistem check and balances yang ideal adalah bila legislatif dan eksekutif memiliki kekuasaan yang seimbang yang memungkinkan kedua lembaga tersebut memiliki hubungan yang saling mengontrol, mengisi dan mengimbangi. Dalam realitasnya, hubungan antara eksekutif dan legislatif tidak berjalan ideal. Hubungan antara keduanya mengalami pasang surut yang disebabkan oleh besar kecilnya kekuasaan yang dimiliki, baik oleh legislatif maupun eksekutif, pada masa pemerintahan tertentu (Siti Zuhro, 2013).
Pola relasi atau hubungan antar unsur penyelenggara pemerintahan daerah apabila menilik kondisi pasca reformasi mengacu pada pola relasi yang demokratis (berlandaskan pada prinsip kerakyatan). Relasi yang terjalin antar unsur penyelenggara pemerintahan di daerah memiliki pola relasi yang berbeda. Secara normatif, seharusnya dalam relasi tersebut harus ada suatu mekanisme check and balances, yaitu adanya kondisi saling kontrol atau mengawasi sebagai wujud mitra yang sejajar. Namun dalam realisasinya ternyata hal tersebut sulit tercapai. Konstelasi kekuatan politik yang ada di masing-masing daerah turut mempengaruhi adanya dinamika relasi yang ada (Qomariah dan Purnomo, 2019).
Demi mewujudkan relasi yang harmonis antar unsur penyelenggara pemerintahan di daerah, idealnya dikembangkan pola hubungan atau relasi yang realistik dalam bentuk koordinasi, komunikasi, kerja sama antara berbagai subjek, kesamaan menginterpretasikan program, pengembangan regulasi, serta klasifikasi atas berbagai permasalahan yang ada. Konflik dalam relasi antar unsur penyelenggara pemerintahan daerah ini sering terjadi baik dalam hal relasi interpersonal maupun dalam kelompok atau organisasi. Adanya suatu komunikasi yang tidak terjalin secara simultan dapat berpotensi menimbulkan konflik. Timbulnya konfrontasi atau konflik menjadikan minim adanya relasi yang baik sehingga penyampaian informasi tidak sesuai tujuan dimana kemudian terjadinya perselisihan dalam setiap lembaga atau instansi ini tidak dapat selalu dihindari (Nurbaya dalam Wasistiono, 2003).
Menjalin relasi kemitraan dan kedudukan kerja yang sejajar bertujuan agar masing-masing unsur penyelenggara pemerintahan daerah tersebut memperoleh hak yang sama serta melaksanakan kewajiban meningkatkan peran dan tanggung jawab dalam mengembangkan kehidupan demokrasi. Selain itu relasi kemitraan yang berjalan baik ini juga demi menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, mengembangkan hubungan dan mekanisme checks and balances antar keduanya, meningkatkan kualitas, produktifitas, serta kinerja demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Kemitraan dan kesejajaran ini selain dapat dilihat dari proses penyusunan hingga pengambilan kebijakan secara bersama-sama.
Beberapa Catatan Kaki
Guna optimalisasi lakon wakil-wakil rakyat “terpercaya”, beberapa catatan kaki berikut dapat dijadikan referensi acuan sehingga dewan benar-benar jelmaan rakyat. Pertama, memaksimalkan hak-hak legislatif; kedua, pemberdayaan legislatif oleh legislatif sendiri dan perlu adanya “political will” (bahkan, political action) pemerintah sendiri dalam pemberdayaan tersebut; ketiga, hilangkan kesan “Lima D”; keempat, anggota dewan tidak boleh dihingapi “syndroma volksraad”; kelima, anggota dewan harus lihai dan cekatan dalam membaca tanda-tanda zaman, terutama pesatnya perubahan di era globalisasi nanti; keenam, anggota dewan tidak boleh mengganggap pekerjaannya adalah amatiran dan sampingan serta menganggap jabatan tersebut prestise; ketujuh, redam kian maraknya korupsi, kolusi, monopoli; oligopoli, nepotisme, dan kesenjangan (gap) sosial; dan kedelapan, pertajam sensitivitas terhadap penderitaan rakyat. Perjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili. Legislatif hidup dari uang pajak rakyat. Maka, pikirkan rakyat. Bukan membebani dan mengisap rakyat, tak ubahnya lintah darat.
Agar sinerjik, di antara legislatif dan eksekutif mestinya harus sama-sama kuat. Kalau keduanya sama-sama kuat, tidak ada pen-dikte-an, itulah sebuah harapan. Dan ini bukan sebuah utopia.
Itulah secuil “interupsi ngawur” atau apapun namanya dari seseorang yang bakal diurus dewan yang mulia.
Semoga !!!