Foto udara: Sedimentasi lumpur di area persawahan warga Desa Lamedai, Kecamatan Tanggetada.
SULTRAKINI.COM: KOLAKA – Setiap pagi, sejak matahari belum merekah sempurna, dentuman mesin dump truk sudah menggema, mengoyak kesunyian bukit. Suara itu bukan lagi alarm yang mengejutkan, melainkan pengingat rutin bagi warga Dusun Dua Lawania, Desa Oko-Oko dan Desa Sopura, Kecamatan Pomalaa, bahwa hari baru telah tiba. Hari-hari ketika tanah mereka terus dikeruk untuk penimbunan pelabuhan muat nikel (jetty) dan pembangunan pagar kokoh Proyek Strategis Nasional (PSN) PT IPIP.
Di tengah gegap gempita Indonesia sebagai raja nikel dunia—komponen utama industri baterai kendaraan listrik global—terselip cerita-cerita pilu dari mereka yang tanah airnya menjadi medan eksplorasi. Berikut potret cerita warga di wilayah ekspansi perusahaan tambang nikel tersebut.
Wajah Pertama: Kebun Penopang Hidup Berubah Jadi Jalur Dump Truk Pemuat Nikel

Bagi sejumlah warga seperti Arman (40), kehadiran PT IPIP dan rekanannya sejak dua tahun lalu, tepatnya akhir 2023, adalah mimpi buruk. Bertahun-tahun hidup tenang sebagai petani, menyekolahkan anak dari hasil kebun cengkeh dan mete, kini ia merasa harapan hidup tenang di masa tua lenyap.
Kebun seluas empat hektare miliknya menjadi jalur lintas perusahaan menuju stokpile yang tak jauh dari kebunnya, yang ia katakan telah diinvasi perusahaan.
“Sebelum perusahaan masuk, kami hidup tenang. Hasil kebun bisa saya pakai untuk bangun rumah dan sekolah anak. Sekarang tidak lagi. Kebun seluas empat hektare diserobot tanpa sosialisasi dan tanpa ganti rugi. Sawah saya kini terendam banjir karena penebangan di hulu dan luapan sungai. Bagaimana kami melanjutkan hidup jika semuanya sudah dirusak? Saya berharap perusahaan dan pemerintah daerah memberi solusi,” katanya dengan nada putus asa.
Wajah Kedua: Pesisir Pantai dan Sawah Harapan Kini Terendam Lumpur

AM (inisial), warga Dusun Dua Lawania, juga merasakan dampak pembangunan jetty di desanya. Ia menuturkan, sebelum tambang masuk, setiap sore ia memancing di pinggir pantai untuk kebutuhan lauk. Namun kini, laut di pesisir desanya tertutup lumpur.
“Pantai tertutup lumpur. Ikan tidak berkembang biak bahkan mati karena karang tertutup. Kalau mau memancing harus jauh dan biayanya besar,” ujarnya.
Tidak hanya laut, sawah seluas 80 are yang digarapnya pun kini tertimbun lumpur kiriman hasil pengerukan bukit untuk penimbunan jetty dan pembukaan hutan di hulu desa.
“Padi saya terendam lumpur dan tidak bisa dipanen. Perusahaan tidak membangun checkdam. Jadi kalau hujan, lumpur langsung mengalir ke sawah dan laut. Sawah yang tadinya subur sekarang rusak,” ungkapnya.
Ia kini terpaksa bekerja sebagai penjaga alat di lokasi jetty untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Selain itu, pembangunan fasilitas jetty, stokpile, jalan hauling, PLTU, dan mess karyawan TKA PT IPIP juga menyebabkan kebisingan dan polusi udara.
Wajah Ketiga: Pengambilalihan Lahan Warga dengan Pengawalan Aparat

Dampak lain dari kehadiran PSN PT IPIP dirasakan Kadir (64), warga Desa Sopura. Kebun sawitnya seluas empat hektare, yang telah ia garap selama 30 tahun, kini diklaim sebagai kawasan perusahaan.
Saat diwawancarai, raut wajah Kadir masih menyisakan trauma. Ia mengaku perusahaan datang dengan enam polisi dan dua tentara ke lahannya.
“Rimau sebagai eksekutor IPIP mengambil alih kebun saya. Mereka datang dengan ekskavator, polisi, dan tentara. Mereka pegang saya supaya tidak melawan,” tuturnya dengan nada bergetar.
Kadir mengatakan kebun itu adalah harapannya untuk diwariskan kepada anak cucu.
Saat dikonfirmasi melalui WhatsApp terkait mekanisme pengambilalihan lahan dan dampak penggundulan hutan, pihak PT Rimau/PT IPIP yang diwakili Algazali hanya menjawab singkat:
“Silakan hubungi tim legal. Setahu kami, Sopura itu kawasan hutan.”
Wakil Ketua DPRD Kolaka, Syafulla Halik, menyatakan PSN tambang nikel membawa dampak positif seperti penyerapan tenaga kerja dan peningkatan PDRB. Namun ia mengakui bahwa dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan konflik lahan juga tidak dapat dihindari.
“Dampak negatif dapat diminimalisir dengan regulasi teknis, komunikasi sosial, partisipasi, dan penyelesaian yang berkeadilan. Dengan itu, masalah dapat diarahkan ke resolusi berkelanjutan,” ujarnya.
Laporan: Hasrianti

19 hours ago
5

















































