Oleh: Sri Rahayu (Mahasiswa Administrasi Pembangunan Pascasarjana Universitas Halu Oleo)
SULTRAKINI.COM: Pembangunan hampir selalu dipromosikan sebagai jalan menuju kesejahteraan. Dalam narasi resmi negara, pertumbuhan ekonomi, masuknya investasi, dan geliat industri kerap diposisikan sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan. Namun, di banyak wilayah penghasil sumber daya alam, pembangunan justru hadir sebagai ironi. Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, menjadi salah satu potret paling jelas dari paradoks tersebut.
Di atas kertas, Konawe Utara tampil sebagai lokomotif ekonomi daerah berkat eksploitasi tambang nikel. Sektor pertambangan dan penggalian bahkan menyumbang lebih dari 55 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah ini pada 2023, sebagaimana dicatat Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, di lapangan, kemajuan itu dibayar mahal dengan rusaknya lingkungan pesisir dan semakin rapuhnya kehidupan masyarakat nelayan.
Kerusakan pesisir di Konawe Utara kini tidak lagi dapat dipandang sebagai persoalan kasuistik atau insidental. Berdasarkan komparasi data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Tenggara, analisis citra satelit periode 2019–2023, serta laporan advokasi WALHI Sulawesi Tenggara tahun 2022 dan 2023, sekitar 30 persen wilayah pesisir Konawe Utara diperkirakan telah terdampak sedimentasi, abrasi, serta aktivitas pertambangan dan pembangunan jetty. Dari total panjang garis pantai sekitar 104 kilometer, sedikitnya 31 kilometer mengalami tekanan ekologis secara langsung.
Kerusakan tersebut terkonsentrasi di sejumlah kawasan strategis. Di Kecamatan Molawe, kepadatan jetty tambang sepanjang 2020–2024 memicu perubahan garis pantai dan gangguan arus laut. Di wilayah Lasolo, sedimentasi meningkat akibat aktivitas hauling dan pembukaan lahan tambang di wilayah hulu sungai. Sementara di kawasan Tapunopaka–Motui, kekeruhan perairan serta reklamasi jetty mempersempit ruang tangkap nelayan. Dampak serupa juga dirasakan hingga ke wilayah Labengki dan Sombano, ketika limpasan sedimen terbawa arus laut dan memengaruhi kawasan pesisir yang sebelumnya relatif lebih terjaga.
Bagi masyarakat pesisir Konawe Utara, laut bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan juga ruang sosial dan kultural. Laut menjadi sumber pangan, identitas, dan keberlanjutan hidup lintas generasi. Namun, ekspansi pertambangan nikel dalam beberapa tahun terakhir telah mengubah secara drastis relasi masyarakat dengan lingkungannya. Air laut yang sebelumnya jernih kini kerap keruh, muara sungai mengalami pendangkalan, dan wilayah tangkap nelayan semakin menyempit akibat lalu lintas kapal pengangkut ore.
Laporan WALHI Sulawesi Tenggara mencatat bahwa pembukaan lahan tambang di wilayah hulu mempercepat laju erosi dan sedimentasi sungai yang bermuara ke pesisir. Material lumpur dan tanah terbawa hingga ke laut, merusak terumbu karang, menutup padang lamun, serta mengganggu ekosistem mangrove. Padahal, ketiga ekosistem tersebut merupakan penyangga utama kehidupan nelayan sekaligus benteng alami terhadap abrasi dan dampak perubahan iklim.
Dampak ekologis itu berkelindan langsung dengan persoalan ekonomi masyarakat pesisir. Data DKP Konawe Utara periode 2022–2024 menunjukkan bahwa hasil tangkapan nelayan di sejumlah desa pesisir menurun hingga 30–40 persen. Penurunan ini memaksa nelayan melaut lebih jauh dengan biaya operasional yang meningkat, sementara hasil yang diperoleh tidak sebanding. Kondisi tersebut memperbesar kerentanan ekonomi rumah tangga nelayan dan mendorong terbentuknya kemiskinan struktural di wilayah pesisir.
Ironisnya, kelompok yang paling terdampak justru berada pada posisi paling lemah dalam proses pengambilan keputusan. Penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta penerbitan izin usaha pertambangan, terutama pada periode ekspansi 2018–2023, kerap berlangsung tanpa partisipasi bermakna masyarakat lokal. Partisipasi publik direduksi menjadi formalitas administratif, bukan ruang deliberasi substantif.
Dalam perspektif ekonomi politik lingkungan, situasi ini mencerminkan ketimpangan relasi kuasa yang serius. Manfaat ekonomi pertambangan terkonsentrasi pada segelintir aktor korporasi, pemilik modal, dan elite politik, sementara risiko ekologis dan sosial justru ditanggung oleh masyarakat pesisir. Ketika laut tercemar dan mata pencaharian hilang, tidak tersedia mekanisme kompensasi yang adil dan sebanding.
Lebih jauh, ketergantungan Konawe Utara pada sektor tambang menciptakan struktur ekonomi daerah yang rapuh dan tidak berkelanjutan. Ketika perekonomian digerakkan hampir sepenuhnya oleh sumber daya alam tak terbarukan, masa depan pembangunan menjadi sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Pengalaman sejumlah daerah tambang menunjukkan bahwa ketika harga komoditas turun atau cadangan menipis, yang tersisa bukanlah fondasi ekonomi yang kuat, melainkan lingkungan rusak dan masyarakat tanpa alternatif penghidupan.
Pembangunan yang mengorbankan lingkungan pesisir sejatinya adalah pembangunan yang sedang menggali krisisnya sendiri. Kerusakan ekosistem laut tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Biaya pemulihan lingkungan, potensi konflik sosial, serta penurunan kualitas hidup pada akhirnya akan ditanggung oleh negara dan masyarakat luas.
Karena itu, narasi keberhasilan pembangunan di Konawe Utara perlu ditinjau ulang secara kritis. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijadikan satu-satunya ukuran keberhasilan. Pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang mengenal batas-batas ekologis dan menjunjung keadilan sosial. Negara perlu menempatkan perlindungan lingkungan pesisir dan kepentingan masyarakat lokal sebagai prioritas utama, bukan sekadar pelengkap dalam dokumen kebijakan.
Tanpa perubahan paradigma, tambang nikel hanya akan meninggalkan luka ekologis dan ketimpangan sosial yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Jika pembangunan terus dijalankan dengan menutup mata terhadap penderitaan masyarakat pesisir dan kerusakan lingkungan, maka yang sedang dibangun sesungguhnya bukanlah kesejahteraan, melainkan krisis yang tengah ditunda.***

2 hours ago
2

















































