SULTRAKINI.COM: JAKARTA – Program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran, Makan Bergizi Gratis (MBG), dikritik keras karena berpotensi melanggar ketentuan konstitusional anggaran pendidikan dan menunjukkan kelemahan mendasar dalam tata kelola birokrasi, termasuk potensi maladministrasi.
Indonesia Budget Center (IBC) menegaskan bahwa penempatan alokasi dana MBG dalam fungsi anggaran pendidikan merupakan manuver politik yang mengorbankan ruang investasi masa depan sumber daya manusia.
Kritik mendalam ini disampaikan Direktur Eksekutif IBC, Arif Nur Alam, dalam Simposium Nasional Refleksi Satu Tahun Kepemimpinan Prabowo-Gibran yang diselenggarakan DPP GMNI di Jakarta, Jumat (31/10/2025). Narasumber lainnya adalah tokoh kritis Roky Gerung juga hadir dalam simposium tersebut.
IBC menyoroti skema alokasi anggaran MBG yang berisiko melabrak Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 49 ayat (1) UU No. 20/2003, yang mewajibkan alokasi minimal 20% dari belanja negara untuk pendidikan.
“Penempatan MBG (senilai Rp71 triliun) di dalam fungsi pendidikan pada APBN 2025 merupakan keputusan politik anggaran yang berpotensi melabrak konstitusional anggaran pendidikan,” kata Arif Nur Alam.
Data IBC menunjukkan, total anggaran pendidikan dalam APBN 2025 sebesar Rp724,26 triliun (20% dari belanja negara). Namun, jika dana MBG dikeluarkan, anggaran pendidikan murni hanya tersisa Rp653,26 triliun atau 18% dari belanja negara.
Situasi ini diperkirakan memburuk pada 2026. Anggaran MBG melonjak empat kali lipat menjadi Rp335 triliun, mengambil 44% dari alokasi pendidikan nasional 2026 sebesar Rp769,1 triliun.
“Apabila anggaran MBG dikeluarkan, maka anggaran pendidikan 2026 hanya Rp434,1 triliun atau 11% dari belanja negara. Fungsi pendidikan mengalami penyempitan fiskal karena ruang anggaran dialihkan untuk belanja konsumsi,” tegas Arif.
IBC menilai, politik anggaran ini mengorbankan investasi pendidikan nasional, dan program MBG seharusnya dikategorikan sebagai fungsi pangan dan kesehatan publik, bukan pendidikan.
Program MBG dipimpin oleh Badan Gizi Nasional (BGN), entitas baru yang dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2024. Namun, IBC menemukan sejumlah kelemahan mendasar dalam pelaksanaan program di tahun pertamanya:
- Realisasi Anggaran Lambat: Hingga 28 Oktober 2025, realisasi anggaran MBG baru mencapai Rp35 triliun atau 49% dari total anggaran Rp71 triliun. Angka ini jauh berbeda dengan data Kementerian Keuangan per September 2025 yang mencatat serapan baru 18,3% (Rp13 triliun), mengindikasikan ketidakefisienan sistem birokrasi dan pengadaan.
- Koordinasi Lintas Sektor Buruk: Koordinasi antara BGN dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta kementerian/lembaga lain di sektor ketahanan pangan dinilai belum optimal.
- Data Rawan Ganda: Sistem digitalisasi pelaporan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan verifikasi penerima manfaat belum terintegrasi dengan Satu Data Indonesia, membuat validasi data rawan ganda dan tidak tepat sasaran, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
- Potensi Maladministrasi: Temuan Ombudsman RI (2025) menunjukkan adanya potensi maladministrasi dalam mekanisme pelaksanaan dan pengawasan kualitas makanan yang didistribusikan.
Direktur Eksekutif IBC menekankan bahwa keberhasilan MBG tidak ditentukan oleh besarnya anggaran, tetapi dari kemampuan birokrasi menyalurkan setiap rupiah dengan transparansi dan akuntabilitas.
IBC merekomendasikan pemerintah untuk:
- Memperjelas arsitektur MBG dalam fungsi anggaran ketahanan pangan dan kesehatan.
- Mereformasi tata kelola BGN agar lebih transparan, termasuk integrasi sistem data dan pengawasan.
- Mengintegrasikan MBG dengan ekosistem pangan lokal, seperti koperasi dan UMKM daerah.
- Mengukur keberhasilan program berdasarkan hasil perbaikan status gizi nasional dan dampaknya terhadap pembangunan SDM, bukan hanya serapan anggaran.
Meskipun mendapat kritik tajam, BGN melalui Kepala dan Wakil Kepala BGN, Dadan Hindayana dan Nanik S. Deyang, dalam berbagai kesempatan di akhir Oktober 2025, menunjukkan sikap fokus pada perbaikan dan pengejaran target.
Nanik S. Deyang mengakui pelaksanaan MBG belum sempurna dan berjanji memperbaiki sistem agar Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti kasus keracunan tidak terulang. BGN juga menargetkan perluasan cakupan hingga 82,9 juta penerima pada akhir 2025 dan mengejar pembangunan 25.400 SPPG.
“Kami akan memberikan sanksi tegas kepada SPPG yang terbukti memproduksi makanan yang bermasalah,” ujar Dadan Hindayana, sembari menegaskan MBG bukan proyek bisnis, melainkan wujud kepedulian Presiden.
Namun, IBC menyimpulkan, “Keberhasilan MBG tidak diukur dari besar anggarannya, tetapi dari kemampuan birokrasi menyalurkan setiap rupiah dengan transparansi dan akuntabilitas.”
Laporan: Frirac

4 days ago
12

















































