Oleh: Inan Fauziyah (Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada)
Kota Kendari kembali menorehkan prestasi administratif yang membanggakan: opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk ke-13 kalinya secara berturut-turut. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Kota Kendari Tahun 2024, laporan keuangan Pemkot Kendari dinilai wajar dalam semua hal yang material. Namun, di balik gemerlap penghargaan ini, kasus-kasus korupsi terus bermunculan dengan semakin berani dan sistemik. Fenomena ini memunculkan ironi besar dalam tata kelola pemerintahan daerah: apakah penghargaan administratif benar-benar mencerminkan kualitas tata kelola yang bersih?
Audit BPK: Jaring yang Longgar bagi Korupsi
Perlu dicermati bahwa opini WTP tidak berarti Kota Kendari bersih dari praktik korupsi. BPK sendiri, dalam dokumen resminya, menegaskan bahwa pemeriksaan mereka hanya bertujuan untuk menilai kewajaran laporan keuangan dan kepatuhan administratif, bukan untuk membongkar seluruh praktik penyimpangan di balik layar. Bahkan, BPK secara terbuka menyatakan, “Pemeriksaan BPK tidak memberikan jaminan bahwa semua tindakan melanggar hukum akan terdeteksi dan hanya memberikan jaminan yang wajar bahwa tindakan melanggar hukum yang berpengaruh secara langsung dan material terhadap angka-angka dalam laporan keuangan akan terdeteksi.” Dengan kata lain, korupsi yang canggih dan sistemik bisa saja lolos dari radar audit.
Fenomena ini selaras dengan kritik Michael Power dalam The Audit Society (1997) yang menyebut audit publik cenderung ritualistik, hanya menyisir permukaan administratif tanpa menyentuh akar masalah integritas birokrasi. Jensen & Meckling (1976) juga mengingatkan kita bahwa pemerintah sebagai agen publik wajib bertanggung jawab penuh kepada masyarakat, bukan sekadar kepada auditor. Namun, dalam praktiknya, mekanisme pengawasan sering kali hanya menekankan pada kepatuhan formal, seperti penyusunan laporan keuangan yang sesuai standar, tanpa mampu menembus praktik koruptif yang terjadi di luar dokumen resmi.
Korupsi di Balik Layar: Dari Suap Proyek hingga Pungli
Fakta di lapangan berbicara lebih lantang. Pada 2018, KPK membongkar kasus suap proyek pembangunan jalan yang melibatkan mantan Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra, dan ayahnya, Asrun. Keduanya terbukti menerima suap dari kontraktor demi memenangkan proyek infrastruktur. Ironisnya, di tahun-tahun yang sama, Pemkot Kendari tetap mendapat opini WTP. Kasus ini menjadi bukti bahwa pengawasan internal lemah, dan WTP bukanlah tameng dari praktik korupsi.
Selain itu, terdapat dugaan penyelewengan dana hibah dan bantuan sosial (bansos). Masalah ini mencakup pemotongan dana oleh oknum pejabat dan penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran. Modus-modus seperti penerima fiktif dan pemotongan di luar mekanisme resmi sangat sulit terdeteksi oleh audit berbasis dokumen, yang menunjukkan minimnya transparansi dalam pengelolaan anggaran.
Kasus korupsi terbaru yang menyita perhatian adalah gratifikasi izin pendirian enam gerai Alfamidi di Kota Kendari yang melibatkan mantan Wali Kota Kendari, Sulkarnain Kadir. Setelah melalui proses hukum panjang, Mahkamah Agung memutuskan Sulkarnain bersalah dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara serta denda Rp 50 juta. Ia terbukti menerima hadiah untuk pengurusan izin dari PT Midi Utama Indonesia. Kasus ini juga menyeret Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Kendari, Ridwansyah Taridala, yang dijatuhi hukuman satu tahun penjara karena turut menerima gratifikasi senilai Rp 721 juta.
Tak hanya itu, pada April 2025, Kejaksaan Negeri Kendari menetapkan mantan Sekda Kendari berinisial NU bersama dua ASN sebagai tersangka kasus korupsi senilai Rp 444 juta. Dugaan korupsi ini terjadi pada kegiatan Belanja Uang Persediaan (UP), Ganti Uang Persediaan (GUP), Tambah Uang Persediaan (TUP), dan Langsung (Ls) di Bagian Umum Pemkot Kendari tahun anggaran 2020. Modusnya, anggaran diajukan untuk kegiatan Pemkot, namun realisasinya diduga fiktif dan pertanggungjawabannya tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Cressey (1953) menjelaskan bahwa korupsi bisa terjadi ketika ada tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Di Kendari, peluang korupsi tetap terbuka lebar karena sistem pengawasan internal yang lemah dan audit eksternal yang hanya bersifat administratif. Hal ini diperkuat oleh teori accountability gap Bovens (2007), yang menyoroti adanya jurang antara pelaporan formal dan realitas di lapangan. Pemerintah daerah bisa saja tampil rapi di atas kertas meraih WTP tiap tahun, namun membiarkan praktik korupsi tumbuh subur di balik birokrasi.
WTP: Simbol Semu, Bukan Jaminan Integritas
Reliansi berlebihan pada opini WTP justru menyesatkan publik. Pemerintah daerah bisa saja menyesuaikan diri secara formal demi meraih WTP, namun belum tentu memperbaiki praktik internal secara substantif. WTP akhirnya hanya menjadi simbol semu, bukan jaminan integritas tata kelola pemerintahan. Padahal, keberhasilan tata kelola publik seharusnya diukur dari berkurangnya praktik korupsi, meningkatnya integritas birokrasi, dan tercapainya manfaat nyata bagi masyarakat, bukan sekadar kepatuhan administratif yang bersifat kosmetik.
Kondisi ini memperlihatkan adanya kegagalan sistemik dalam membedakan antara tata kelola keuangan yang bersih secara formal dan tata kelola pemerintahan yang benar-benar bebas dari korupsi. Selama pengawasan internal masih lemah, partisipasi publik dibatasi, dan penegakan hukum tidak konsisten, maka WTP hanya akan menjadi penghargaan administratif tanpa makna substantif. Kasus korupsi yang terus meningkat di tengah raihan WTP adalah alarm keras bahwa sistem pengendalian dan pengawasan di Kendari masih jauh dari kata efektif.
Saatnya Reformasi, Bukan Sekadar Seremonial
Pengalaman Kota Kendari seharusnya menjadi alarm bagi seluruh daerah di Indonesia: WTP bukanlah jaminan kebersihan tata kelola pemerintahan. Pemerintah daerah harus berani melakukan reformasi pengawasan, membuka ruang partisipasi masyarakat dan media, serta memastikan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Tanpa langkah nyata, WTP hanya akan menjadi simbol semu yang menutupi borok korupsi, dan kepercayaan publik akan terus tergerus.
Pemerintah Kota Kendari perlu memperkuat sistem pengawasan internal, whistleblowing system (mekanisme pelaporan pelanggaran secara rahasia untuk mendeteksi dan mencegah korupsi serta penyalahgunaan wewenang), serta mendorong keterbukaan informasi publik agar potensi korupsi dapat dideteksi lebih dini di luar aspek yang diaudit BPK. Aparat penegak hukum dan masyarakat sipil harus lebih aktif mengawasi dan menindaklanjuti temuan-temuan di luar laporan keuangan formal. Penilaian keberhasilan tata kelola daerah tidak boleh hanya bertumpu pada opini WTP, tetapi juga pada indikator integritas, akuntabilitas, dan penurunan kasus korupsi di lapangan.
Penutup: Integritas Lebih Penting dari Sekadar Opini
Tiga belas tahun WTP di Kendari adalah capaian administratif yang patut diapresiasi. Namun, hal ini tidak boleh menutupi kenyataan bahwa praktik korupsi masih terjadi dan bahkan meningkat. Situasi ini menuntut pembenahan tata kelola yang lebih substansial, penguatan pengawasan, serta penegakan hukum yang konsisten agar opini WTP benar-benar sejalan dengan perbaikan integritas dan akuntabilitas pemerintahan.
Jika tidak, WTP hanya akan menjadi simbol semu yang menutupi borok korupsi yang terus menggerogoti kepercayaan publik, sebuah fenomena yang secara teoretis telah lama diperingatkan dalam literatur tata kelola dan akuntabilitas publik. Reformasi yang tulus dan berkelanjutan adalah kunci untuk mewujudkan tata kelola yang bersih dan akuntabel di Kota Kendari, serta di seluruh penjuru Indonesia. ***