Sekolah Zonder (tanpa) Guru Berkarakter, akan Melahirkan Katastrofi

6 days ago 16

Oleh : Ahmad Usman

Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)

 INIPASTI.COM,  “Guru, ibarat salivasi, bunga yang menggairahkan kuntum belajar anak-anak agar terus mau bersekolah. Sekolah zonder (tanpa) guru berkarakter akan melahirkan katastrofi pendidikan, bencana yang tidak kita harapkan semua” (Pavlov, peraih Nobel asal Rusia).

Sekolah zonder (tanpa) guru berkarakter adalah kerugian besar bagi semua stakeholder sekolah. Sekolah yang tidak memiliki guru dengan karakter yang kuat, amat sulit mendapatkan output sekolah yang baik. Sekolah yang seharusnya mampu menjadi inspirasi kemajuan bagi kecerdasan tiga ranah anak (kognitif, psikomotorik dan afektif) berubah menjadi sekolah robot dengan guru yang kaku dan konvensional. Solusi, guru berkarakter dan profesional kini menjadi hal yang melekat jika sekolah ingin merubah paradigma karena tanpa hal ini mustahil sekolah akan mampu melahirkan siswa-siswa berkarakter pula, yang kuat secara akademik dan juga cerdas secara emosional.

Orang yang “pandai” saja tetapi “tidak baik” akan menghasilkan orang yang “berbahaya” karena dengan kepandaiannya bisa menjadikan sesuatu menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Setidak-tidaknya pendidikan masih lebih bagus menghasilkan orang-orang “baik” walaupun kurang “pandai”. Keluaran institusi pendidikan seharusnya dapat menghasilkan orang “pandai” tetapi juga orang “baik” dalam arti luas. Pendidikan tidak hanya menghasilkan orang “pandai” tetapi “tidak baik”, sebaiknya juga pendidikan tidak hanya menghasilkan orang “baik” tetapi “tidak pandai”. Pendidikan tidak cukup hanya untuk membuat anak pandai, tetapi juga harus mampu menciptakan nilai-nilai luhur atau karakter (Hidayatullah, 2010).

Secara harfiah dan umum istilah katastrof(i/a) (catastrophe) bermakna bencana atau puncak malapetaka yang secara niscaya mengakibatkan atau menyebabkan pelbagai keguncangan mahadahsyat terhadap tata atau keteraturan (great disruption of order). Bahkan menimbulkan keterputusan (discontinuity), yang di dalamnya terkandung rangkaian krisis yang mulai terpetakan dan didapatkan jalan keluarnya (Djoko Saryono, 2020).

Sebelum digunakan di pelbagai bidang seperti sekarang, istilah katastrofi tersebut sudah dipakai oleh Aristoteles dalam buku Poetics yang terbit Abad III Sebelum Masehi. Dalam Poetics, sebermula istilah katastrofi digunakan untuk menyebut tahapan alur cerita drama tragedi Yunani setelah klimaks atau puncak konflik pada satu pihak dan pada pihak lain sebagai tanda berakhirnya cerita.

Dalam drama tragedi Yunani, katastrof ditandai oleh ditemukannya jalan penyelesaian (resolusi) atas klimaks atau puncak konflik pada satu sisi dan pada sisi lain lazimnya ditandai oleh matinya tokoh utama secara tragis dan atau traumatis sebagai bagian akhir cerita (yang merupakan puncak bencana dalam drama tragedi). Inilah yang disebut katastrofi atau denouement dalam struktur dramatik tragedi Yunani.

Sesudah itu, dengan makna relatif sejajar atau paralel, istilah atau makna katastrofi tersebut dipakai untuk menyebut bermacam-macam bencana mahadahsyat atau malapetaka tak tertanggungkan dan tak terbahasakan yang menguncang tata atau keteraturan alam semesta, bumi, ekologi, dan atau kebudayaan manusia. Pelbagai istilah frasal tersebut menggambarkan malapetaka atau bencana mahadahsyat yang berdaya merusak, menghancurkan, meruntuhkan, dan atau memunahkan.

Di samping itu, istilah katastrofi juga digunakan untuk menggambarkan bencana yang menciptakan ketidaksetimbangan, ketakselarasan atau kekacauan, bahkan berdampak menghancurkan, meruntuhkan, dan atau memunahkan tata-semesta (kosmologi), tata-bumi, tata-lingkungan, tata-sosial, dan bahkan tata-kebudayaan (Djoko Saryono, 2020).

Artinya, sekolah tanpa memiliki guru yang berkarakter akan melahirkan katastrofi bagi dunia pendidikan dan siapapun berharap bencana itu tidak akan terjadi

“…Guru berkarakter sesungguhnya bukanlah sesuatu yang bersifat to be or not to be,  melainkana process of becoming.  Menjadi guru berkarakter adalah orang yang siap untuk terus-menerus meninjau arah hidup dan kehidupannya  serta menjadikan profesi guru sebagai  suatu kesadaran akan panggilan hidup. Guru berkarakter senantiasa berusaha dan berjuang mengembangkan aneka potensi  kecerdasan yang dimilikinya”  (Uhar Suharsaputra, 2011).

Pesan Rektor Technische Hogeschool

Menarik pesan Rektor Technische Hogeschool saat Soekarno (Presiden Pertama Indonesia) diwisuda. “Tuan Soekarno, suatu saat ijazah ini bisa robek dan hancur. Dia tak abadi. Ingatlah satu-satunya yang abadi, karakter”. Karakter sangat esensial. Sayang kerap disepelekan. Padahal, setiap detik perjalanan hidup kita, itulah episode pendidikan karakter.

Bung Karno pernah mengatakan, “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”, demikian Soemarno Soedarsono (2009) dalam bukunya “Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang.” Mahatma Gandhi mengatakan hal yang sama, “Kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu derajat seseorang dan bangsa”.

Negarawan Vietnam, Ho Chi Minh (1890-1969) pernah menegaskan prinsipnya bahwa “No teacher, no education”, atau “Tanpa guru, tidak ada pendidikan”. Soekarno, Presiden Pertama Indonesia, pada 21 November 1945 menyatakan bahwa “guru bukanlah penghias alam, tetapi pembentuk manusia.”

Sungguh penting kehadiran guru. Dari sentuhan tangan seorang guru lahirlah manusia-manusia hebat yang kita kenal, seperti B.J. Habibie, yang dikenal sebagai Presiden yang sangat jenius. Bahkan mungkin ketika seorang anak ditanya ingin menjadi apa ia ketika besar nanti, mungkin ia akan menjawab ingin menjadi B.J. Habibie. Presiden RI ketiga ini dinobatkan sebagai pemilik paten terbanyak dalam bidang kedirgantaraan di dunia (dan belum terkalahkan), NASA pernah membeli kerangka pesawat yang dirancang olehnya dan masih banyak lagi prestasi yang dicapainya.

Kita harus menjadi orang yang expert (ahli) yaitu guru yang memiliki nilai terbaik atau lebih dari guru yang biasanya, memiliki kemahiran dalam mengajar, dan memiliki kompetensi terbaik sebagai seorang guru.

Sebutan “GURU” harus dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Kepanjangan dari akronim “GURU” sebagai berikut. (1) Huruf G: Gagasan, artinya semua guru harus punya gagasan atau ide yang baru dan membangun. Bukan hanya sekadar menyampaikannya di depan kelas, namun harus berani untuk mempublikasikannya; (2) huruf U: Usaha, artinya guru harus selalu berusaha dengan gigih untuk mencapai cita-cita (misal membeli buku: menambah wawasan atau studi lanjut untuk meningkatkan kompetensi bukan sekadar meningkatkan kualifikasi); (3) R: Rasa, meliputi asah, asih dan asuh. Dengan rasa guru akan menjadi spirit dan menjadi “pendidikan yang menghidupkan”; dan (4) huruf U: Uang/harta, uanglah yang akan membantu guru untuk menjadi lebih bermartabat (cara mencarinya harus santun, jujur, dan bersih) (Ahmad Usman dan Abdul Kadir, 2019).

Baik dan tidaknya siswa menurut Supardi (2013) salah satunya ditentukan oleh faktor guru. Guru memiliki tugas dalam pembentukan karakter serta jiwa peserta didik. Ketika karakter dan jiwa peserta didik telah terbentuk, artinya seorang guru telah sukses menjalankan peran sebagai arsitektur dalam dunia pendidikan.

Berarti ketika guru memainkan lakon atau peran sebagai pembentuk karakakter peserta didik, maka seorang guru harus terlebih dahulu berkarakter. Karena guru merupakan figur, sosok atau aktor yang digugu (dipercaya) dan ditiru (diikuti). Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid. Sedangkan ditiru artinya seorang guru harus menjadi suri teladan (panutan) bagi semua muridnya.

Menjadi Guru Model dan Berkarakter

Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, pecinta, dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima sehingga kamu menjadi rusak (Hadits). Berhentilah menjadi guru, jika tidak mencintai tugas mulia itu! Berikan kesempatan kepada orang lain yang lebih mencintainya (Gordie Howe dalam Usman, 2019).

Asrorun Ni’am Sholeh dalam bukunya yang berjudul “Membangun Profesionalitas Guru”, mengungkapkan bahwa: “Dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai (values) serta membangun karakter (character building)  peserta didik secara berkelanjutan. Dalam terminology Islam, guru diistilahkan dengan murabby, satu akar dengan rabb yang berarti Tuhan. Jadi, fungsi dan peran guru dalam sistem pendidikan merupakan salah satu manifestasi dari sifat ketuhanan. Demikian mulianya posisi guru, sampai-sampai Tuhan, dalam pengertian sebagai rabb mengidentifikasi diri-Nya sebagai rabbul’alamin atau “Sang Maha Guru”, “Guru seluruh jagad raya”. Untuk itu, kewajiban pertama yang dibebankan setiap hamba sebagai murid  “Sang Maha Guru” adalah belajar, mencari ilmu pengetahuan. Setelah itu, setiap orang yang telah mempunyai ilmu pengetahuan memiliki kewajiban untuk mengajarkannya kepada orang lain. Dengan demikian, profesi mengajar adalah sebuah kewajiban yang merupakan manifestasi dari ibadah. Sebagai konsekuensinya, barang siapa yang menyembunyikan sebuah pengetahuan, maka ia telah melangkahkan kaki menuju api neraka.

Guru model adalah guru yang akan menjadi teladan, baik sesama guru/profesi, orang tua para murid dan masyarakat yang akan menjadi guru di rumah tangganya dan lebih penting lagi adalah teladan bagi peserta didiknya, inilah dinamakan sebagai guru model. Sedangkan guru berkarakter adalah guru yang mentransfer nilai-nilai karakter positif atau yang baik terhadap murid/peserta didiknya, karena para siswa itu sendiri akan meniru bahkan mengikuti jejak-jejak guru itu sendiri. Marilah kita tanam pada diri mereka sebuah ilmu yang baik yang akan mereka tiru pada diri kita, sebagaimana terdapat dalam sebuah ungkapan “Guru pandai berdiri, murid pandai berlari”.Jadi,itulah yang harus kita tanam dalam diri mereka, bukan malah sebaliknya, yang pernah terjadi dalam sebuah ungkapan“Guru kencing berdiri, Murid kencing berlari.”

Guru model adalah model untuk orang lain atau guru-guru yang seprofesi dengan kita, oleh sebab itu menjadi guru model itu sangat penting karena guru model adalah contoh guru yang berdedikasi tinggi, yang banyak orang-orang yang akan meniru, baik dari segi karakter maupun penampilan, kemudian dibangun lagi dengan guru yang berkarakter, karena karakter seorang guru harus bisa atau mampu mengubah keadaan atau karakter anak-anak didiknya menjadi lebih baik, karena belakangan ini yang berkarakter adalah administrasi mengajar atau RPP, jangan sekadar RPP yang berkarakter tetapi menghasilkan guru-guru yang berkarakter itu penting juga, dengan demikian, guru berkarakter akan menghasilkan juga anak-anak didik yang berkarakter pemimpin (Sahrul dalam Ahmad Usman, 2015).

Menurut Rani Pardini (Yusuf, 2019), ada tiga model guru berdasarkan tingkatan kualitasnya, yaitu (1) guru okupasional, (2) guru profesional, dan (3) guru vokasional. Guru okupasional adalah sosok guru yang menjalani profesi guru sekadarnya, tanpa kepedulian lebih memperhatikan anak didiknya. Guru profesional adalah guru yang memiliki tanggung jawab lebih memenuhi kualifikasi undang-undang dan syarat kompetensi guru sesuai dengan regulasi yang berlaku. Sementara guru vokasional adalah guru yang menjalani profesinya sebagai sebuah panggilan sehingga menjalani tugasnya dengan penuh antusias, sabar, komitmen, dan terus mengembangkan diri serta profesinya.

Meminjam istilah Reza M. Syarif (Yusuf, 2019) tentang eksistensi manusia dilihat dari keberadaan dan prestasinya (performance), seorang guru terbagi dalam 5 (lima) model. Pertama, guru yang apa adanya. Guru model ini, mengajar hanya sekadar gugur kewajiban, tidak peduli dengan keadaan anak di luar kelas atau masalah-masalah di rumahnya. Guru yang apa adanya, guru yang menjalankan tugasnya hanya sebatas formalitas. Kedua, guru yang tidak ada apa-apanya. Guru seperti ini sama sekali tidak memiliki gairah untuk menjadikan siswa pintar apalagi berkarakter. Ilmu yang diperolehnya tidak pernah diupgrade, padahal perubahan terjadi setiap saat, mereka tidak tertarik terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di sekitarnya terutama yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Ketiga, sosok guru yang adanya, ada-ada saja. Guru model ini lebih banyak kesan negatifnya daripada positifnya, tidak banyak berharap dari guru model ini beruntung tidak banyak guru seperti ini, hanya kasuistis, tetapi sangat perlu diwaspadai karena bisa mencoreng dan menghancurkan dunia pendidikan. Guru yang ada-ada saja lebih banyak usil dibanding usulnya dalam perkembangan pendidikan. Keempat, guru yang ada lebihnya. Model guru seperti ini, sosok guru yang sadar akan tugas pokok dan fungsinya (TUPOKSI) sebagai guru. Guru yang ada lebihnya adalah guru yang tertarik untuk terus peduli pada perkembangan anak didiknya, profesinya. Kondisi dan tantangan yang berkembang dan prestasi baik diri dari siswanya, bagi guru kelompok ini selalu tertarik terhadap perkembangan-perkembangan baru di dunia pendidikan dan perubahan yang lainnya yang berkaitan dengan aspek pendidikan. Kelima, guru yang adanya tidak sekadar ada. Sosok guru inilah sosok yang super. Guru super ini, guru yang sangat sadar pada eksistensinya, potensinya, profesinya, situasi dan kondisinya, visi dan misinya, obsesinya serta efektifitas aksinya. Guru model ini, menjadikan profesi guru sebagai panggilan diri yang dijalaninya dengan penuh komitmen dan dedikasi.

Karakter seorang guru bercirikan unik, memberdayakan dan menginspirasi dalam 4 (empat) ranah olah pikir, olah rasa dan karsa, olah hati dan olah raga. Olah pikir yaitu cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif. Olah hati meliputi beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, bersimpati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Olah rasa dan karsa terdiri dari  ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum,  bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Sedangkan olah raga meliputi bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih.

Guru berkarakter adalah sosok guru murobbi, guru yang senantiasa meningkatkan kapasitas diri, intelektual dan humanis secara terus menerus. Guru murobbi adalah guru profesional, dimana hati dan pikiran hanya tertuju untuk bagaimana mampu mendidik dan mengajarkan ilmu secara ahsan, terstruktur dan evaluatif.

Guru sebagai Pilar Karakter

Jika kita melihat ada peserta didik yang cukup antusias kepada gurunya, hormat dan simpati dengan pendidik, maka itu dikarenakan guru tersebut mempunyai karakter yang baik.

Guru adalah orang yang telah memanggul tanggung jawab sebagai salah satu pembentuk karakter manusia. Guru memiliki saham yang sangat sentral dalam mewujudkan siswa yang berkarakter. Guru selain dituntut untuk menyampaikan materi, juga dituntut untuk menjadi ‘guru’ yang digugu dan ditiru yang sebenarnya. Guru harus bisa menanamkan moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Memberi penghargaan kepada yang berprestasi dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran dan juga dalam kehidupan nyata. Yaitu, proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia (karakter) dapat terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.

Guru bukanlah sembarang pekerjaan. Profesi ini menuntut pelakunya memiliki kelebihan, baik pengetahuan, keterampilan, kepribadian, sosial, akhlak, maupun spiritual. Tugas guru tidak hanya sekadar mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Lebih dari itu, dia bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter dan kepribadian siswa agar menjadi insan yang bermoral dan berilmu

Membentuk karakter merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula.

Peran utama guru dalam pendidikan karakter yaitu sebagai keteladanan, motivator, inspirator, dinamisator, dan evaluator. Kelima peran guru tersebut menjadi starting point dalam membumikan karakter di negeri ini.

            Dalam pembentukan karakter anak, ada tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi. Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Kedua, mempunyai kecintaan terhadap kebaikan, dan membenci perbuatan yang buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebaikan. Misalnya, anak tidak mau berbohong. “Karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebaikan”. Ketiga, anak mampu melakukan kebaikan, dan terbiasa melakukannya.

Pembentukan karakter harus dilihat dari 3 V yaitu 1) View yang dapat berupa opini, cara pandang, atau pola pikir. 2) Value yaitu nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan, dan 3) Virtue yang dapat berupa kebajikan (Anonymous, 2014).

            Lewat proses itu, ada 9 (sembilan) pilar karakter yang penting ditanamkan pada anak. Pertama, cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya (love Allah, trust, reverence, loyalty); kedua, tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness); ketiga, kejujuran/amanah dan arif (trustworthines, honesty, and tactful); keempat, hormat dan santun (respect, courtesy, obedience ); kelima, dermawan, suka menolong dan gotong-royong/kerja sama (love, compassion,caring, empathy, generousity, moderation, cooperation); keenam, percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity,resourcefulness, courage, determination, enthusiasm); ketujuh, kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership); kedelapan, baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty); dan kesembilan, toleransi, kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity) (Balitbang Puskur Kemdikbud, 2010).

            Kesembilan karakter tersebut bila selalu ditanamkan akan berdampak positif pada psikologi anak.

Nilai-nilai pendidikan karakter perlu dijabarkan sehingga diperoleh deskripsinya. Deskripsi berguna sebagai batasan atau tolok ukur ketercapain pelaksanaan nilai-nilai pendidikan karakter di sekolah.

Karakteristik Guru Berkarakter

Guru yang berkarakter adalah guru yang mempunyai prinsip hidup  dan perenungannya  dan kebebasan dalam berkreasi. Dengan prinsip yang  hidup yang dihasilkan dari pencarian dan perenungan, seorang guru mem­punyai kepercayaan diri dalam membimbing dan mendidik peserta didik sesuai dengan  per­kembangan dan kemampuannya. Dengan kebebasan berkreasi, guru diharapkan dapat mengem­bangkan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, kreatif, dan inovatif sehingga potensi siswa berkembang secara maksimal.

Guru bekarakter akan berusaha menciptkan iklim belajar yang efektif dan menyenangkan, de­ngan kreativitas metode pem­belajaran, untuk mengurangi ke­jenuhan dan menyesuaikan dengan konteks pembelajaran sehingga tumbuh kegairahan dan motivasi instrinsik dan ekstrinsik. Dengan karakter positif yang ditunjukkan guru, diharap­kan pelanggaran disipilin ber­kurang; siswa berperilaku wajar, percaya diri, dan tidak sombong; dan persaingan sehat antarsiswa, kelas, dan guru tumbuh di lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan.Itulah pentingnya guru berkarakter bagi pem­bentukan karakter generasi muda.

Guru adalah manusia biasa dan sebagai manusia biasa dalam melaksanakan peran sebagai pendidik dan sebagai pemimpin bagi anak didiknya dalam pelaksanaan proses belajar mengajar mereka memiliki gaya tersendiri. Ada beberapa tipe kategori dari gaya guru sebagai pendidik yaitu gaya otoriter, gaya masa bodoh, gaya demokrasi, dan gaya partisipatif.

Yang pertama, kita pasti pernah berhadapan dengan guru dengan gaya atau karakter otoriter ini, di mana  memperlihatkan kekuasaan mutlak atas anak didiknya selama pelaksanaan Proses Belajar Mengajar dan karakter otoriter ini juga dapat mendatangkan mimpi buruk bagi setiap anak didik. Senyuman manis dan kata-kata yang lembut merupakan barang yang langka yang diperoleh dari guru berkarakter otoriter ini. Guru killer adalah istilah lain yang diberikan oleh anak didik untuk guru berkarakter otoriter  tersebut.

Kedua, guru dengan karakter masa bodoh. Karakter seperti ini cenderung menurunkan kualitas budaya sekolah. Suasana kelas akan menjadi amburadul, apalagi bila anak didik di kelas cukup banyak. Peranan guru yang berkarakter “masa bodoh” ini bisa agak bagus apabila ia mengelola kelas dengan anak didik sedikit. Guru dengan karakter demikian perlu bersikap lebih tegas dan punya prinsip atas nilai kebenaran. Menambah kualitas ilmu dan wawasan dan kemudian bersikap lebih tegas akan mampu mengatasi karakter masa bodoh tersebut.

Terakhir, guru yang berkarakter demokratis adalah guru yang memiliki hati nurani yang tajam. Guru dengan karakter beginilah yang mampu menghadirkan hatinya dalam emosi anak didik selama pembelajaran. Guru berkarakter demokratis dan memiliki wawasan yang tinggi tentu akan mampu menenangkan hati anak didik atau memotivasi mereka dalam pembelajaran. Guru yang mampu menghadirkan hatinya pada hati anak didik disebut sebagai guru yang baik dan mereka akan dikenang oleh anak didik sepanjang hayatnya. Yang lebih banyak dikenang adalah guru yang baik.

Ciri-ciri lain dari guru yang berkarakter diantaranya: mencintai anak-anak, memahami latar belakang sosial budaya peserta didik, stabilitas emosi yang stabil, memiliki daya motivasi, mencintai profesi guru, dan tidak berhenti belajar (Arnis Nur Sarah dalam Usman, 2024). Untuk lebih jelas keenam ciri guru berkarakter tersebut, akan diuraikan sebagai berikut.

Pertama, mencintai anak-anak. Mencintai anak-anak dengan segenap hati merupakan modal yang harus dimiliki oleh seorang guru. Guru yang mencintai anak didiknya akan berusaha mencintai anak didiknya dengan cara yang menyenangkan.

Kedua, memahami latar belakang sosial budaya peserta didiknya. Guru yang berkarakter akan senantiasa memahami kebiasaan anak didik berdasarkan latar belakang sosial budaya mereka. Sehingga hal ini akan memudahkan guru untuk menjalankan metodologi pengajaran dengan tepat. Dan siswa pun akan merasakan kemudahan dalam menyerap ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru serta memahami nilai-nilai yang ditanamkan. Guru yang memahami latar belakang sosial budaya para muridnya akan menjalankan proses belajar mengajar tanpa ada unsur-unsur diskriminatif bahkan akan memberikan pemahaman yang mendalam bagi pribadi seorang guru. Setiap guru yang memahami bahwa setiap individu siswa memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing tentunya akan membuahkan sikap saling menghargai akan kelebihan dan kekurangan bersama.

Ketiga, mampu mengendalikan emosi dengan stabil. Saat berhadapan dengan siswa-siswanya, seorang guru harus mampu mengendalikan emosi. Dengan sikap dan perilaku yang beraneka ragam yang ada pada masing-masing individu siswa tentu saja ini tantangan yang besar dan berat yang harus dihadapi. Guru harus bertutur kata yang baik, sopan dan tetap bersikap ramah dalam membangun suasana kelas yang bersahabat penuh keakraban. Sebab sangatlah rugi bila seorang guru memasang muka masam, berkata kasar dan bersikap arogan di hadapan para murid-muridnya. Bila ini terjadi akan memancing ketidaksukaan para murid dan suasana kelas akan menjadi tegang dan kaku yang berujung muncul rasa kebencian kolektif dari murid terhadap guru. Guru harus menghindari praktek penghukuman yang over acting atau berlebihan dan tidak mendidik, baik yang menyakiti secara fisik ataupun non fisik.

Keempat, memiliki jiwa motivator. Guru yang baik memiliki daya motivasi yang tinggi. Dengan memiliki jiwa motivator akan mampu mengarahkan anak didik ke arah yang baik dan disenangi. Dengan pengaruh positif yang ditularkan oleh guru kepada murid-muridnya akan mengubah sikap bodoh, keadaan miskin. Juga jiwa berbagi yang ditanamkan oleh seorang guru mampu mengubah kondisi menjadi lebih baik, memunculkan rasa percaya diri murid yang tinggi, memberikan keyakinan yang kuat bahwa di masa yang akan datang setiap murid akan menjadi pribadi yang mandiri, cerdas dan bermasa depan yang cerah.

Kelima, guru mencintai profesinya. Memiliki rasa mencintai profesinya sebagai guru pun bisa menjadi modal dasar untuk mengerjakan tugasnya dengan penuh keseriusan, perhatian, mencurahkan keahliannya dengan profesional dan intelektual. Serta guru dengan sikap seperti ini akan berusaha semaksimal mungkin melakukan yang terbaik untuk murid-muridnya. Selain totalitas, guru pun akan senantiasa bersikap secara loyalitas, tanggung jawab terhadap profesinya dan tujuannya dalam mendidik.

Keenam, tidak pernah berhenti belajar. Seperti yang diucapkan oleh mantan Bos Apple, mendiang Steve Jobs, Stay hungry stay foolish. Guru harus senantiasa merasa lapar dan haus untuk terus belajar, dan merasa ‘bodoh’ supaya termotivasi untuk terus belajar. Sehingga guru selalu mengetahui isu terkini, mengikuti perkembangan jaman dan teknologi, berilmu, cerdas dan berwawasan yang luas.

Ciri guru berkarakter lain lagi bahwa guru secara individual memiliki kemauan untuk berubah. Dilihat dari faktor ‘kemauan’ untuk maju, maka ada 3 (tiga) jenis guru (Fandy, 2010).

Pertama, ”guru robot”, yaitu guru yang bekerja persis seperti robot. Mereka hanya masuk, mengajar, lalu pulang. Mereka yang peduli kepada beban materi yang harus disampaikan kepada siswa. Mereka tidak mempunyai kepedulian terhadap kesulitan siswa dalam menerima materi. Apalagi kepedulian terhadap masalah sesama guru dan sekolah pada umumnya. Mereka tidak peduli dan mirip robot yang selalu menjalankan perintah berdasarkan apa saja yang sudah diprogramkan. Guru jenis ini banyak sekali menggunakan ungkapan seperti ini: “Wah …itu bukan masalahku…itu masalah kamu. Jadi selesaikan sendiri ….” Atau “Maaf aku tidak dapat membantu … sebab hal ini bukan tugas saya…”.

Kedua, “guru materialis”, yaitu guru yang selalu melakukan hitung-hitungan, mirip dengan aktivitas bisnis jual beli atau yang lainnya. Parahnya yang dijadikan patokannya adalah hak yang mereka terima. Barulah kewajiban mereka akan dilaksanakan sebesar tergantung dari hak yang mereka terima. Guru ini pada awalnya merasa professional, namun akhirnya akan terjebak dalam ‘kesombongan’ dalam bekerja. Sehingga tidak terlihat ‘benefiditasnya’ dalam bekerja. Ungkapan-ungkapan yang banyak kita dengan dari guru jenis ini antara lain: “Cuma digaji sekian saja … kok mengharapkan saya total dalam mengajar… jangan harap ya …”. “Percuma mau kreatif, orang penghasilan yang diberikan kepada saya hanya cukup untuk biaya transportasi…”. “Kalau mengharapkan saya bekerja baik, ya turuti dong permintaan gaji saya sebesar …..”. Dan seterusnya …

Ketiga, “gurunya manusia”, yaitu guru yang mempunyai keikhlasan dalam hal mengajar dan belajar. Guru yang mempunyai keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswanya berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlas untuk introspeksi apabila ada siswanya yang tidak bisa memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar. Sebab mereka sadar, profesi guru adalah makhluk yang tidak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan mengembangan.

”Gurunya manusia”, juga manusia yang membutuhkan ‘penghasilan’ untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bedanya dengan ”guru materialis”, ”gurunya manusia” menempatkan penghasilan sebagai ”akibat” yang akan didapat dengan menjalankan kewajibannya. Yaitu Keikhlasan mengajar dan belajar.

Hasil penelitian dari Edward Sheffield tentang karakteristik dari guru yang efektif yang sering disebut dengan Characteristics of Effective Teachers Most Often Mentioned (Edward Sheffield, Teaching in the Universities– No One Way, 1974): (1) menguasai bahan yang diajar dan memiliki kompetensi; (2) pengajaran dipersiapkan dengan baik dan memiliki organisasi pengajaran secara teratur; (3) pelajaran harus dihubungkan dengan hal praktis dalam kehidupan sehari-hari; (4) mendorong murid bertanya dan memberikan opini; (5) antusias tentang subyek yang diajar; (6) dapat didekati murid (approachable), bersahabat, terbuka (available); (7) peduli kepada kemajuan siswa; (8) memiliki sifat humoris; (9) hangat, baik, simpati; dan (10) menggunakan alat-alat atau media secara efektif (AgusWibowodan Hamrin, 2012).

Jika kita mau jujur, banyak guru di Indonesia yang jauh dari karakteristik guru yang efektif di atas, ada guru yang hanya sekadar mengajar tanpa peduli siswa paham atau tidak, ada guru yang mengajar dengan pendekatan otoriter sehingga siswa ketakutan selama proses pembelajaran, ada guru yang mengajar tanpa humor sama sekali, bahkan ada guru yang mengajar dengan konsep yang salah karena kurang menguasai materi. Bagaimana siswa mau menguasai materi kalau dari dalam otak siswa timbul gaya penolakan yang disebabkan ketidaksukaannya terhadap karakter guru yang mengajar? Padahal diawali rasa suka itulah siswa akan mampu menyerap materi secara maksimal dari apa yang disampaikan guru. Ada benarnya perkataan seorang pakar pendidikan bahwa: Bila para siswa SD sampai SMA prestasi belajarnya jelek, maka 75% yang harus disalahkan gurunya dan 25% kesalahan siswa itu sendiri, sebaliknya bila seorang mahasiswa prestasinya jelek, maka 75% yang salah adalah mahasiswa itu sendiri dan 25% kesalahan dosennya (Hari Prasetyodalam Ahmad Usman dan Abdul Kadir, 2019).

Guru berkarakter setidaknya memiliki beberapa muwashofat (ciri) yaitu; pertama, guru berkarakter adalah tipikal guru yang selalu belajar terus-menerus. Dia tidak merasa puas dengan ilmunya dan terus melakukan beragam variasi mengajar anak didiknya.Tidak pernah merasa bosan untuk melengkapi keahlian dengan beragam training pendidikan sehingga makin meluas cakrawala berpikirnya.Kedua, bersemangat dalam menyusun lesson plan, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sehingga kualitas ajar kian mumpuni dan terstruktur dengan baik.Lesson plan inilah yang memandu dirinya agar tujuan dan kompetensi yang diharapkan dari siswa dapat tercapai.Ketiga, guru berkarakter memiliki budi pekerti teladan dan menularkan kepada anak didiknya. Guru berkarakter senantiasa sehat secara jasadiyah (fisik), aqliyah (akal), dan ruhiyah (spiritual). Keempat, guru berkarakter memahami psikologi khususnya psikologi perkembangan anak, sehingga mampu menangani karakter para siswa yang beragam. Ciri-ciri guru inilah yang dapat melejitkan dan membangkitkan semangat belajar siswa, mereka menikmati suasana belajar dengan guru yang memahami gaya belajar mereka. Guru sebagai katalisator mempermudah siswa melakukan elaborasi dan ekspresi belajar yang melahirkan ide-ide cerdas yang terus berkembang (Pardan PrasetyodalamLukas,2018).

Di samping keempat muwashofat diatas, guru berkarakter juga memiliki tiga unsur penting yang sangat menentukan keberhasilannya sebagai seorang guru, yakni paradigma, cara dan komitmen (Munif, 2012). Paradigma dapat dilihat dari sisi bagaimana seorang memandang siswanya sebagai sang juara, yang selalu melihat siswa dari sisi kecerdasan yang dimilikinya. Sehingga kemudian melahirkan cara mengajar yang bersumber dari hati tulus dan membawa optimisme kepada anak didiknya. Guru berkarakter pula yang memiliki daya komitmen melakukan discovering ability, mencari mutiara kemampuan anak didiknya hingga tuntas dan tertemukan. Guru berkarakter dapat mengajar dengan beragam strategi mengajar yang menyenangkan sehingga mampu menstimulus kreativitas siswa sehingga mampu melakukan problem solving.

Tidak Semua Guru Sertifikasi Berkarakter

Suatu realita yang susah dibantah bahwa sejak diberlakukannya tunjangan profesional bagi guru ternyata muncul banyak masalah di lapangan, baik pembelajaran dan karakter guru, misalnya ketidakjujuran guru. Tidak semua guru yang telah mendapat sertifikat pendidik dijamin memiliki karakter kuat dan cerdas.

Guru sertifikasi belum tentu semua profesional dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Realitas ini selaras dengan pendapat Walantaqi (Usman, 2024) bahwa untuk tercapainya proses pendidikan yang baik diperlukan enam modal dasar, yaitu (1) adanya kecerdasan (dzuka-in), (2) motivasi yang jelas arah dan sasaran yang tepat (birshin), (3) ketekunan dan usaha (isbtibar), (4) partisipasi dan pembiayaan (bulghat), (5) tenaga edukatif yang berkualitas (irsyadi ustadzin), (6) long life learning (thuliz zamanain).

Merujuk pendapat di atas berarti peran guru memiliki andil penting sebagai salah satu modal dasar untuk mewujudkan pendidikan yang berhasil dan berkarakter.

Pentingnya karakter guru ibarat tangga yang menentukan baik atau buruknya hasil yang dituju. Untuk bisa mendidik karakter, terlebih dahulu seorang guru hendaknya mendidik dirinya sendiri. Kalau dia sudah mendidik dirinya, maka dipastikan ia bisa mendidik anak didiknya. Guru yang buruk bisa mengantar murid meraih gelar dokter atau insinyur. Namun murid yang dicetak bisa jadi jauh lebih buruk dari padanya.

Guru berkarakter senantiasa berusaha dan berjuang mengembangkan aneka potensi kecerdasan yang dimilikinya. Tentu masih banyak lagi pemikiran menarik lainnya yang bisa dijadikan bahan refleksi bagi kita sebagai guru maupun calon guru dalam upaya mewujudkan diri menuju guru yang berkarakter.

Kuatnya arus pembelajaran berarti kuatnya karakter guru, kuatnya karakter guru berarti kuatnya pendidikan kita, dan kuatnya pendidikan kita berarti kuatnya bangsa Indonesia. Dengan demikian, tidak boleh ada rantai terputus pada guru dalam pembentukan karakter generasi muda di masa yang akan datang.

Nilai utama yang menjadi karakter guru adalah sebagai berikut. Pertama, amanah yaitu guru harus dapat dipercaya dan mampu menerapkan karakternya di manapun ia berada, terutama di lingkungan sekolah. Kedua, keteladanan yaitu guru harus mampu menerapkan setiap karakternya secara efektif dan efisien, selain itu guru harus mampu melayani siswa dalam hal pengembangan potensinya. Dan ketiga, cerdas yaitu kemampuan mengerti dan memahami, serta tanggap dalam menganalisis dan memecahkan masalah dengan baik (Hidayatullah, 2010).

Guru berkarakter, sejatinya menerapkan gaya kepemimpinan pelayan, mensyaratkan guru bersedia mendengarkan, empati, penyembuhan, keterbukaan, pembujuk, percaya, pengonsep, pemikir ke depan, peduli, komit pada pertumbuhan sesama, dan pembangun komunitas (Ignas Iwan Waning dalam Yusuf, 2019).

Kehadiran seorang guru harus sebanyak-banyaknya bermakna, bermanfaat dan maksimal dalam upaya membangun potensi anak menjadi dirinya sendiri yang mampu membangun dan menemukan jati dirinya.

Seorang guru super yang berdampak pada upaya membangun karakter siswa paling tidak harus memiliki sembilan karakter (9 S) yaitu : Sayang, Sabar, Santun, Siap, Senyum, Sungguh–Sungguh, Senang, Strategi, dan Sukses.

Semoga !!!

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|