Membedah Aspek Perpajakan Solar Industri

6 days ago 26
Foto: Hasbullah Ahiri

Oleh: Hasbullah Ahiri (Pegawai Direktorat Jenderal Pajak)

SULTRAKINI.COM: Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional Indonesia pada tahun 2025 diproyeksikan mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2024. Berdasarkan data dari Pertamina dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), konsumsi BBM jenis Pertalite diperkirakan mencapai antara 32,1 juta hingga 33,23 juta kiloliter (KL), meningkat dari proyeksi tahun 2024 sebesar 31,60 juta KL. Sementara itu, konsumsi solar diperkirakan berkisar antara 18,6 juta hingga 19,44 juta KL, naik dari 17,71 juta KL pada tahun 2024.

Solar merupakan komponen penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya melalui pos subsidi energi. Solar industri termasuk dalam kategori BBM non-subsidi yang dijual kepada sektor-sektor seperti manufaktur, pertambangan, pembangkit listrik swasta, dan lainnya. Harga solar industri mengikuti mekanisme pasar tanpa subsidi dari pemerintah. Oleh karena itu, konsumsi dan harga solar memiliki pengaruh besar terhadap besaran subsidi yang harus dikeluarkan negara, dan secara langsung berdampak pada keseimbangan fiskal, defisit anggaran, serta efektivitas belanja negara.

Pengelolaan subsidi solar menjadi isu strategis dalam perencanaan APBN setiap tahun. Sektor migas juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara melalui dua jalur utama, yaitu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas dan pajak migas. Keduanya mencerminkan bagaimana negara memperoleh manfaat fiskal dari pengelolaan sumber daya alam migas, baik secara langsung dari hasil produksi maupun dari kewajiban perpajakan perusahaan migas.

Aspek perpajakan solar industri perlu dipahami dengan baik karena menjadi dasar dalam pelaksanaan pemungutan dan pemotongan pajak. Solar industri sebagai BBM non-subsidi merupakan objek pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Berikut penjelasan mengenai aspek-aspek perpajakan tersebut:

1. PPh Pasal 22 atas Pembelian

PPh Pasal 22 dikenakan atas pembelian solar industri yang dilakukan oleh instansi pemerintah, BUMN, dan badan tertentu. Perusahaan swasta yang tidak ditunjuk sebagai pemungut PPh dikecualikan dari kewajiban ini. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, tarif PPh Pasal 22 atas penjualan BBM oleh produsen atau importir adalah:

0,25% dari nilai penjualan (tidak termasuk PPN) untuk penjualan kepada SPBU yang membeli BBM dari Pertamina atau anak perusahaannya.

0,3% dari nilai penjualan (tidak termasuk PPN) untuk penjualan kepada SPBU yang membeli dari pihak selain Pertamina atau anak perusahaannya.

2. PPh Pasal 23 atas Jasa atau Sewa

PPh Pasal 23 dikenakan atas jasa terkait solar industri, seperti jasa distribusi, sewa kendaraan tangki, atau jasa angkut oleh pihak ketiga. Pajak ini tidak melekat pada penjualan solar itu sendiri, melainkan pada jasa tambahan yang diberikan. Tarif PPh Pasal 23 adalah 2% dari penghasilan bruto dan dipotong oleh pengguna jasa untuk disetor ke kas negara.

3. PPh Pasal 4 Ayat (2) atas Sewa Fasilitas

PPh final ini tidak berlaku pada transaksi penjualan atau pembelian solar industri, melainkan pada sewa fasilitas, seperti tangki penyimpanan milik pihak ketiga. Tarif PPh final yang dikenakan adalah 10% dari nilai sewa.

4. PPh Badan

Solar industri merupakan bagian dari transaksi komersial biasa dan menjadi objek PPh Badan. Sementara itu, solar bersubsidi lebih banyak terlibat dalam skema subsidi pemerintah. Tarif PPh Badan saat ini adalah 22%, yang dikenakan atas laba kena pajak dari perusahaan yang menjual solar industri.

5. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Menurut PMK Nomor 131 Tahun 2024 yang berlaku mulai 1 Januari 2025, solar industri sebagai BBM non-subsidi dikenakan PPN sebesar 11%. Penjual wajib memungut dan menyetor PPN, sementara pembeli dapat mengkreditkan PPN sebagai Pajak Masukan, selama solar tersebut digunakan dalam kegiatan usaha yang berkaitan langsung dengan proses produksi.

Pengenaan pajak atas solar industri merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara. Oleh karena itu, penting adanya dukungan regulasi yang ramah industri, insentif efisiensi energi, serta dialog aktif antara pemerintah dan pelaku usaha. Hal ini diharapkan mampu menciptakan kebijakan yang tidak hanya mendukung penerimaan negara, tetapi juga mendorong pertumbuhan industri secara berkelanjutan.

Kebijakan yang harmonis antara kepentingan fiskal negara dan keberlanjutan industri harus menjadi prioritas. Dengan pengelolaan yang tepat, solar industri sebagai BBM non-subsidi dapat menjadi instrumen penting dalam menopang keuangan negara dan memperkuat pembangunan industri nasional dalam jangka panjang.***

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|