SULTRAKINI.COM: KOLAKA-Ada saja aral melintang yang menghalangi perjuangan sekelompok warga Dusun II Lawania, Desa Oko-oko, Kecamatan Pomala, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara dalam memperjuangkan tanahnya yang diduga diserobot PT Rimau, mitra PT IPIP. Kali ini, sekelompok warga Dusun II Lawania yang merasa lahannya diserobot oleh PT Rimau terpaksa harus ke Polres Kolaka guna memenuhi panggilan klarifikasi wawancara terkait dugaan penyerobotan lahan dan pemalsuan dokumen yang dilaporkan balik oleh pihak PT Rimau. Pihak PT Rimau melaporkan dua warga Dusun Lawania dengan tuduhan dugaan penyerobotan lahan dan pemalsuan dokumen.
Didampingi warga yang bernasib sama, Nasar dan Uprianti dengan raut wajah tercengang sekaligus tidak percaya memasuki ruangan Reskrim Polres Kolaka untuk memenuhi panggilan klarifikasi wawancara yang akan dilakukan pihak Polres Kolaka guna menjawab tudingan PT Rimau.
Nasar dan Uprianti tetap kooperatif hadir meski dengan perasaan emosional. Pasalnya, laporan penyerobotan tanah dan pemalsuan dokumen yang dituduhkan PT Rimau di Polres Kolaka justru terkait tanah mereka sendiri yang telah memiliki SKT sejak belasan tahun lalu, kini tengah diperjuangkan setelah diklaim sepihak oleh PT Rimau. Ironisnya, kini mereka justru dituding dan dilaporkan balik (24/9/2025).
Nasar mengaku heran dengan aksi pelaporan yang dilakukan PT Rimau. Menurutnya, perusahaan itulah yang memulai masalah dengan menyerobot lahannya. Konflik berawal dari tanahnya seluas 6 hektare yang diserobot PT Rimau, tanaman diratakan, bahkan kini dijadikan stockpile perusahaan rekanan lain, yakni PT Tosida. “Saya heran kenapa saya dilaporkan melakukan penyerobotan dan pemalsuan dokumen. Padahal tanah saya seluas 6 hektare itu diserobot Rimau dan mitranya PT Tosida untuk dijadikan stockpile. Itu tanah yang sedang saya perjuangkan untuk kembali. Dalam perjuangan ini pun saya dan warga menempuh jalur halal dan legal untuk mengembalikan sumber penghidupan kami, ruang hidup kami yang dirampas,” jelasnya dengan nada emosional.
“Hari ini saya datang memenuhi undangan, meskipun undangan wawancara klarifikasi perkara sebenarnya tertanggal 26/9/2025 mendatang. Kami ini dituduh seperti kriminal. Apabila nanti penyidik tidak bisa memperlihatkan dokumen yang disangkakan ke saya, saya akan menuntut balik pencemaran nama baik,” tegasnya.
Uprianti juga bertutur, dirinya tidak menyangka adanya undangan wawancara klarifikasi perkara dari Polres Kolaka tertanggal 24/9/2025 untuk suaminya, Ambo Tang, terkait laporan dugaan penyerobotan lahan dan pemalsuan dokumen yang dilaporkan PT Rimau melalui Ahmad Sirajul Munir. “Perihal undangan wawancara klarifikasi perkara, pihak Rimau menuding kami memalsukan dokumen dan menyerobot lahan. Sungguh tidak masuk akal kami dituding seperti itu. Justru Rimau yang menyerobot dan meratakan cengkeh dan pala di kebun saya. Baru seminggu setelah kami pupuk, tiba-tiba saja Rimau datang menggusur dan mengklaim tanah kami pada tahun 2024 lalu,” terangnya dengan nada gemetar.
“Kami datang ke Polres memenuhi panggilan undangan untuk mengklarifikasi bahwa kami tidak melakukan apa pun. Kami berada di koridor resmi dalam memperjuangkan hak kami,” tambahnya.
Sementara itu, tim legal PT Rimau, Ahmad Sirajul Munir, terkait pelaporan penyerobotan lahan dan pemalsuan dokumen yang dilakukan di Polres Kolaka, saat dikonfirmasi via WhatsApp dan telepon, tidak memberikan tanggapan.
Sebelumnya, masyarakat Dusun II Lawania telah mengadukan perihal penyerobotan lahan tersebut ke DPRD Kolaka. DPRD menerima laporan warga dan melakukan hearing pada 13 Juni 2025 yang menghasilkan kesepakatan bersama bahwa warga Dusun II Lawania dan pihak PT Rimau tidak boleh melakukan aktivitas di atas tanah seluas 12 hektare yang disengketakan. Namun, kesepakatan itu dilanggar oleh PT Rimau. Karena hal tersebut, warga Dusun II Lawania kembali mengadu ke DPRD pada 5 Agustus 2025. DPRD pun berjanji memanggil pihak PT Rimau. Selanjutnya, pada 29 Agustus 2025, RDP kembali dilakukan dan dihadiri PT IPIP, PT Rimau, serta warga Dusun II Lawania. RDP itu menghasilkan kesepakatan bahwa DPRD Kolaka akan turun langsung meninjau lokasi yang disengketakan dan memfasilitasi tim terpadu penanganan permasalahan di wilayah pertambangan. Namun, dalam proses tersebut, PT Rimau dan PT IPIP tetap melakukan aktivitas di tanah yang diklaimnya serta melaporkan pemilik tanah ke Polres Kolaka.
Penyerobotan lahan masyarakat oleh perusahaan adalah sebuah pelanggaran serius yang dapat dikategorikan dalam beberapa dimensi:
1. Pelanggaran Hukum
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM): hak atas tanah dan penghidupan yang layak adalah bagian dari HAM. Perampasan tanah berarti melanggar hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
Melawan Prinsip Legalitas: jika perusahaan mengambil tanah tanpa ganti rugi yang adil, tanpa persetujuan masyarakat (FPIC/Free, Prior and Informed Consent), atau melampaui izin yang diberikan, itu adalah tindakan melawan hukum.
2. Bentuk Ketidakadilan Agraria
Eksploitasi kekuasaan: perusahaan menggunakan kekuatan modal, politik, dan hukum untuk mengambil alih tanah yang sering kali telah dikelola turun-temurun oleh masyarakat.
Penghancuran sumber penghidupan: masyarakat kehilangan akses terhadap tanah sebagai sumber pangan, air, dan budaya.
3. Akar Konflik Sosial dan Kerusakan Lingkungan
Memicu kekerasan: konflik lahan sering berujung pada ketegangan, protes, bahkan kekerasan antara masyarakat, perusahaan, dan aparat.
Kerusakan ekologis: aktivitas perusahaan (pertambangan, perkebunan) sering menyebabkan polusi, deforestasi, dan kerusakan ekosistem jangka panjang.
4. Kegagalan Negara
Lemahnya penegakan hukum: negara sering gagal melindungi hak-hak masyarakat adat dan lokal.
Tumpang tindih kebijakan: izin diberikan tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat setempat.
5. Krisis Moral dan Kemanusiaan
Mengorbankan rakyat kecil untuk keuntungan korporasi: tindakan ini mencerminkan ketidakpedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Penyerobotan lahan oleh perusahaan bukan hanya masalah sengketa tanah, melainkan wujud dari ketimpangan struktural, kegagalan tata kelola agraria, dan pengabaian terhadap hak-hak rakyat kecil. Penyelesaiannya membutuhkan penegakan hukum yang adil, pengakuan terhadap hak masyarakat adat/lokal, serta komitmen untuk mengutamakan keadilan agraria sebagai fondasi pembangunan.
Laporan: Anti