
Oleh: Laode Harjudin (Dosen Ilmu Politik Universitas Haluoleo Kendari)
SULTRAKINI.COM: Misi utama demokrasi adalah menentang pemerintahan sekelompok kecil orang, kemudian menggantikannya dengan pemerintahan banyak orang. Atau dalam bahasa yang lebih lugas, demokrasi menentang tirani minoritas yang menindas mayoritas. Tirani minoritas adalah suatu situasi di mana kelompok kecil atau minoritas dapat memaksakan kehendak atau opininya pada kelompok yang lebih besar, sering kali merugikan kelompok mayoritas (https://getidiom.com/dictionary/english). Pihak yang sedikit jumlahnya karena kekuasaannya menjadi dominan dan menekan pihak yang jumlahnya lebih banyak. Demokrasi menentang kondisi demikian karena berpotensi memicu konflik di tengah masyarakat.
Dalam konteks pemerintahan, tirani minoritas mengambil bentuk berupa dominasi kelompok minoritas dalam posisi-posisi pemerintahan. Hal ini bertentangan dengan logika demokrasi yang menghendaki representasi kelompok mayoritas dalam pemerintahan. Logika demokrasi sangatlah rasional karena pemerintahan memiliki tugas untuk melayani kepentingan seluruh masyarakat. Idealnya, struktur pemerintahan mencerminkan struktur sosial-budaya kelompok masyarakat dalam suatu wilayah secara proporsional. Sebab, pelayanan bukan sekadar urusan administratif semata, tetapi juga tentang pemahaman latar belakang sosial dan kultur masyarakat. Sulit membayangkan suatu kelompok minoritas diharapkan dapat memahami kondisi sosial-budaya mayoritas masyarakat. Karena itu, menjadi tidak logis jika kelompok minoritas menguasai posisi-posisi dalam pemerintahan di tengah masyarakat yang mayoritas. Tidak bisa dipungkiri kalau pemerintahan masih memiliki karakter feodal, di mana masih kental warna ikatan primordial seperti kekeluargaan dan kesukuan.
Namun, gejala tirani minoritas bukan hanya tipikal masyarakat feodal, tetapi juga sedang menggejala di negara yang menjadi prototype demokrasi seperti Amerika Serikat (AS). Dalam buku Tyranny of the Minority: Why American Democracy Reached the Breaking Point (2023), Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menjelaskan bahwa tirani minoritas sedang terjadi di AS, di mana kelompok kulit putih mendominasi pemerintahan di tengah masyarakat mayoritas multi-etnis dan multi-ras. Hal ini menjadi masalah demokrasi karena mayoritas tidak terwakili secara proporsional dalam struktur pemerintahan. Levitsky dan Ziblatt menyebut kondisi ini sedang terjadi peralihan ke arah otoritarianisme karena sikap kontra-mayoritas.
Dalam sejarah demokrasi, sikap tiran telah menjadi pemicu sebuah revolusi besar, Revolusi Amerika abad ke-18. Revolusi Amerika merupakan sebuah ilustrasi rangkaian konflik dan pemberontakan yang dilakukan masyarakat Amerika terhadap penjajah Inggris. Konflik tersebut merupakan reaksi terhadap sikap Kerajaan Inggris yang bertindak sewenang-wenang terhadap warga pribumi Amerika sehingga menimbulkan kemarahan. Pemicu utama konflik bermula ketika penjajah Inggris memaksa warga Amerika membayar pajak kepada kolonial, sementara dalam struktur pemerintahan tidak ada perwakilan orang Amerika (Miller, 1959). Sebagai rakyat yang berdaulat, orang Amerika menganggap hal tersebut sebagai bentuk kesewenang-wenangan sehingga menyulut pemberontakan besar-besaran yang mencapai klimaksnya pada Revolusi Amerika.
Mungkin saat ini, dampak dominasi kelompok minoritas tidak akan memicu revolusi, tapi bisa menimbulkan resistensi terhadap kebijakan pemerintah. Sebagian besar masyarakat mungkin menentang atau mengabaikan kebijakan pemerintah karena kehilangan kepercayaan atau merasa tidak memiliki ikatan emosional dengan pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, untuk mengamankan kebijakannya, biasanya pemerintah tergoda menggunakan kekuatan paksa (coercion) dengan mengerahkan aparat keamanan secara masif. Pengerahan aparat keamanan untuk memaksa masyarakat patuh terhadap kebijakan pemerintah hanya akan memicu terjadinya konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah. Konflik seperti ini sudah menjadi pemandangan umum di masyarakat saat ini. Pada prinsipnya, penggunaan kekerasan hanya akan melahirkan ketidakteraturan, seperti bait puisi Wallace Stevens (1936): “violent order is disorder” (keteraturan yang ditegakkan dengan kekerasan adalah ketidakteraturan).
Sebaiknya, penguasa belajar dari sejarah.***