Oleh: Dr. Jumrana, M.Sc. (Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UHO, Relawan Mafindo, Fasda PATBM)
SULTRAKINI.COM: Beberapa wanita telah menjadi korban love scam di Kota Kendari. Salah satunya bekerja sebagai penjaga toko yang ditipu melalui media sosial Facebook. Ia berkenalan dengan seorang pria yang mengaku berasal dari kesatuan TNI AL dan bertugas di Papua. Dari sekadar saling menyapa di media sosial, hubungan berlanjut ke pertukaran nomor WhatsApp hingga video call sex (VCS). Pelaku ternyata merekam aktivitas tersebut dan menjadikannya alat untuk memeras korban (love scam sextortion). Video itu digunakan sebagai ancaman penyebaran apabila korban tidak memberikan uang. Total kerugian korban mencapai Rp210 juta. Tentu saja identitas pria tersebut palsu. Setelah ditelusuri pihak kepolisian, diketahui bahwa pelaku merupakan seorang narapidana di Rutan Kolaka.
Pada Juni 2025, staf media pribadi Presiden RI menjadi korban love scam oleh seseorang yang mengaku sebagai pilot dan mengalami kerugian Rp48 juta. Pada Maret 2025, seorang pengusaha mengungkap telah diperas Rp7,8 miliar agar foto syurnya tidak disebarkan oleh pelaku love scam berkedok investasi. Tahun lalu, seorang dosen swasta di Malang kehilangan uang puluhan juta setelah menjadi korban love scam. Fakta ini menunjukkan bahwa korban penipuan cinta tidak terbatas pada orang-orang yang rentan secara ekonomi. Sebaliknya, di antaranya terdapat individu berusia 18–35 tahun, berpendidikan tinggi, bahkan bergelar magister, yang terperdaya oleh janji manis dan kemudahan (Wang & Topalli, 2024).
Perkembangan teknologi informasi, terutama aplikasi media sosial dan layanan kencan online, memungkinkan orang terhubung satu sama lain di seluruh dunia. Namun, kemajuan ini juga membuka ruang bagi kejahatan siber yang semakin canggih, salah satunya penipuan asmara atau love scam. Love scam adalah penipuan yang menciptakan hubungan romantis palsu melalui platform digital dengan tujuan mendapatkan uang dari korban (Niman, Rothhaar, & Parulian, 2023). Fenomena ini menjadi ancaman serius karena pelaku memanfaatkan kebutuhan emosional dan psikologis korban. Love scam merupakan salah satu jenis kejahatan siber yang banyak mengakibatkan kerugian finansial dan emosional.
Di Indonesia, kasus penipuan cinta menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Menurut data Indonesia Anti-Scam Centre (IASC), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat setidaknya 2.267 aduan terkait penipuan cinta hingga September 2025 (CNBC Indonesia, 2025). Secara umum, kasus penipuan online (termasuk love scam) telah mengakibatkan kerugian besar, meski total kerugiannya tidak disebutkan. Aktivis Waspada Scammer Cinta (WSC) mengungkap bahwa pada 2024 saja total kerugian mencapai kurang lebih Rp12 miliar dengan 113 korban.
Pelaku love scam menggunakan rekayasa sosial (social engineering) yang canggih untuk membangun hubungan dan kepercayaan. Mereka umumnya memakai profil palsu (catfishing) dengan foto menarik (biasanya tentara, pilot, polisi, atau profesional bergengsi), cerita yang menyentuh, dan pekerjaan dengan mobilitas tinggi.
Pelaku berusaha membangun ikatan emosional yang intens dengan korban. Mereka memanipulasi emosi melalui kedekatan yang cepat (grooming), komunikasi intensif, janji manis, dan ungkapan cinta berlebihan (Syecha & Sumanti, 2023). Setelah kepercayaan terbentuk, pelaku mulai meminta transfer uang untuk berbagai alasan mendesak, seperti biaya operasi, denda imigrasi, tiket perjalanan, atau masalah bisnis mendadak.
Selain itu, pelaku sering meminta korban merahasiakan hubungan mereka dan bahkan meminjam uang dari teman atau keluarga korban. Taktik ini digunakan untuk mengisolasi korban agar tidak mendapatkan nasihat atau bantuan orang lain.
Berbagai studi menunjukkan bahwa dampak penipuan ini jauh melampaui kerugian finansial. Korban mengalami kerugian psikologis signifikan (Wijayanto, 2021), meliputi:
(a) trauma dan depresi akibat rasa dikhianati, dipermalukan, atau kehilangan harta;
(b) kehilangan kepercayaan diri, merasa bodoh, bersalah, serta sulit percaya kepada orang lain ketika memulai hubungan baru (Amriani, 2025);
(c) stigma sosial, yang membuat korban enggan melapor dan menghambat proses penegakan hukum (UI, 2025; UGM, 2021).
Love scam dapat dihindari dengan kewaspadaan digital dan nalar kritis dalam setiap interaksi online, terutama yang melibatkan uang dan emosi. Salah satu cara adalah memeriksa dan memverifikasi identitas melalui pencarian gambar terbalik (reverse image search) menggunakan Google Images atau TinEye. Sekitar 90% kasus penipuan cinta menggunakan foto curian dari model, selebritas, atau orang acak. Jika foto muncul di berbagai sumber berbeda, itu tanda bahaya.
Periksa pula kehadiran digital pelaku dengan mencari namanya di platform seperti Instagram, LinkedIn, dan Facebook. Waspadai akun baru yang minim unggahan, tidak menunjukkan aktivitas realistis, memiliki sedikit teman/pengikut, atau pengikutnya tampak palsu. Profil yang terlihat terlalu sempurna juga patut dicurigai. Lakukan “wawancara kecil” untuk menguji konsistensi informasi yang ia berikan. Jika jawabannya samar, berubah-ubah, atau terlalu umum, hal tersebut mengindikasikan potensi penipuan.
Waspadai juga pola komunikasi yang terlalu cepat berkembang (love bombing). Pelaku sering menyatakan cinta dalam hitungan hari, memberi pujian berlebihan, dan menghubungi secara intens. Taktik ini digunakan untuk memanipulasi emosi dan membangun kepercayaan secara cepat.
Dari sisi penegakan hukum, Indonesia memang belum memiliki undang-undang khusus tentang love scam. Namun kasus ini dapat dijerat dengan UU ITE dan KUHP (Lestari, Dewi, & Mahaputra, 2023; Sultan et al., 2024), misalnya Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU ITE dengan ancaman hingga enam tahun penjara.
Masalah lain adalah yurisdiksi internasional. Banyak love scam beroperasi lintas negara dengan modus pekerjaan palsu yang berujung pada perdagangan manusia. Hal ini mempersulit pelacakan bukti digital dan pelaku yang sering berada di luar negeri (Chandra, 2024). Karena itu diperlukan kerja sama antarlembaga dan internasional, seperti Indonesia Anti-Scam Centre (IASC), kepolisian, serta Interpol.
Upaya pencegahan dan edukasi juga sangat penting. Masyarakat masih minim pemahaman mengenai risiko dan modus love scam. Kampanye literasi digital oleh KemenPPPA, Mafindo, dan ICT Watch perlu diperkuat (Sila & Taufik, 2023).
Love scam menyasar kerentanan emosional. Faktor internal seperti kesepian, kebutuhan kasih sayang, dan ketidakstabilan emosional menjadi target utama pelaku (Amriani, 2025). Peran platform digital penting, misalnya dengan menyediakan verifikasi pengguna yang lebih ketat dan mekanisme pelaporan yang aman.
Menurut Ketua Pusat Kajian Law, Gender, and Society UGM, Sri Wiyanti Eddyono, salah satu kendala utama adalah korban enggan melapor karena rasa malu dan takut stigma (UGM, 2021). Karena itu, kerahasiaan identitas harus dijamin selama proses pelaporan. Korban juga membutuhkan bantuan hukum, konseling, dan rehabilitasi dari Dinas PPPA serta lembaga terkait lainnya.
Love scam adalah bentuk kejahatan siber yang menggabungkan manipulasi emosi dan kerugian finansial. Ancaman ini tidak memandang latar belakang, sebagaimana terlihat dari meningkatnya jumlah korban, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi. Penanganan love scam membutuhkan pendekatan luas dan integratif yang mencakup penegakan hukum, peningkatan literasi digital, pengawasan platform digital, serta dukungan psikologis bagi korban. Hanya melalui kerja sama instansi pemerintah, penegak hukum, platform digital, dan masyarakat, permasalahan ini dapat diminimalkan.***

2 days ago
7















































