Dibalik Represif Pers, Aktor Negara, dan Skandal Lingkaran Kekuasaan

2 weeks ago 32

Oleh: Sumadi Dilla (Kepala Pusat Kajian Anti Korupsi dan Dosen Komunikasi UHO)

SULTRAKINI.COM: Pers Indonesia kini dikejutkan dengan peristiwa pencabutan kartu identitas peliputan seorang wartawan CNN Indonesia yang dilakukan Biro Pers, Informasi, dan Media (BPIM) Sekretariat Presiden RI. Kejadian ini memicu reaksi keras dari insan pers, media, organisasi jurnalis, LBH Pers, hingga publik tanah air.

Peristiwa itu bermula saat Jurnalis CNN Indonesia, Diana Valencia, mengajukan pertanyaan seputar program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo setelah kembali dari lawatan luar negeri di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Sabtu, 27 September 2025. Menurut pihak Istana Presiden, Diana mengajukan pertanyaan di luar konteks. Versi istana menyebutkan bahwa wartawan hanya boleh bertanya seputar kegiatan Presiden Prabowo dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

BPIM berargumentasi bahwa apa yang dilakukan Jurnalis CNN tidak sesuai dengan protokol yang diinginkan Biro Pers, Informasi, dan Media, sehingga perlu “ditertibkan”. Jika mencermati diksi atau narasi yang digunakan istana bahwa “pertanyaan CNN tidak sesuai konteks”, maka hal ini bisa dimaknai sebagai bentuk represi terselubung sekaligus upaya pembungkaman kerja-kerja jurnalistik di lingkaran kekuasaan.

Sedangkan penggunaan diksi “menertibkan” yang kemudian diwujudkan dalam pencabutan identitas pers oleh Biro Pers Istana, mengindikasikan bahwa lingkaran Istana Presiden menjadi tempat aman dan nyaman bagi para aktor negara bersembunyi, sekaligus mempraktikkan skandal pemberangusan kebebasan pers dan keterbukaan informasi publik. Situasi ini sungguh mencederai rasa keingintahuan publik, kepercayaan (trust), serta demokratisasi informasi yang inklusif dan sedang dibangun pemerintah.

Pertanyaan serius yang perlu dijawab pemerintah adalah, mengapa istana bertindak demikian? Adakah sesuatu yang perlu ditutupi? Sejumlah pertanyaan kritis pantas diajukan. Sangat ironis sekaligus memalukan melihat kepongahan pejabat negara dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan media akhir-akhir ini.

Kontroversi Tangan Gelap Aktor

Semula saya tidak ingin menulis, apalagi terkait isu keterbukaan informasi publik dan kebebasan pers yang berhadapan dengan buruknya komunikasi publik pejabat negara. Namun ada hal yang mengganggu sekaligus mencemaskan saya, juga banyak pihak, tentang standar kepatutan dan kepantasan (etika) komunikasi yang didominasi satu pihak, yakni pemerintah.

Apakah wajar sikap kritis, baik berupa pertanyaan maupun pernyataan dari warga negara dan media, dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan” sehingga harus dibatasi atau bahkan dilarang oleh aktor negara? Dalam konteks ini, patut dicurigai bahwa tindakan pembatasan dan pencabutan kartu identitas peliputan wartawan di istana merupakan cara-cara terselubung “tangan gelap” aktor istana presiden dalam mematikan critical journalism.

Kejadian ini justru bertolak belakang dengan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebagaimana ditunjukkan survei LSI Denny JA (81,2%) pada 4 Juni 2025 (detiknews.com) dan survei Indonesian Social Survey (ISS) sebesar 78% pada 21 Agustus 2025 (metrotvnews.com).

Jika demikian faktanya, maka tindakan represif dan pembungkaman kerja jurnalis oleh Sekretariat Presiden di tengah gencarnya publikasi media mengenai kepuasan publik terhadap pemerintah saat ini, ditengarai berkaitan dengan “operasi senyap” aktor-aktor tertentu yang berupaya mengendalikan informasi publik, khususnya terkait program MBG yang bermasalah di masyarakat.

Mengapa hal ini menjadi rumit (complicated)? Pertama, banyak pihak mempertanyakan evaluasi pelaksanaan MBG yang menimbulkan kasus keracunan siswa di berbagai daerah. Pertanyaannya, adakah respons cepat pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan persoalan ini secara proporsional?

Fakta menunjukkan, mulai dari menteri terkait, pejabat teknis Badan Gizi Nasional (BGN), kepala daerah, hingga petugas lapangan, masih “mendiamkan” hal tersebut. Hal ini kembali membuktikan kepada publik bahwa ada persoalan serius dengan pejabat kita, yakni kurangnya empati, tanggung jawab, dan kecakapan komunikasi publik dalam keterbukaan informasi.

Pejabat boleh saja merasa benar dengan caranya. Namun jangan “mengambinghitamkan” publik dan media ketika informasi yang semestinya berimbang justru berujung demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah. Keadaan ini bisa berkembang menjadi pemicu gelombang perlawanan semesta terhadap pemerintahan Prabowo Subianto.

Sungguh ironis: pemerintah dianggap sukses dan memuaskan publik (raport biru), tetapi pada saat yang sama sejumlah pejabat dan programnya, seperti wapres yang digugat, anggota DPR yang tidak kompeten, kasus keracunan MBG, program cetak sawah, menteri terindikasi korup, hingga masalah di tubuh Polri, justru menuai penolakan publik (raport merah).

Era demokratisasi pers dan disrupsi informasi kini justru memperlihatkan bahwa aktor negara (BPIM) menjadi sumber tersumbatnya informasi publik. Akibatnya, pemberitaan media pun terganggu, tertunda, bahkan tergerus oleh aksi “ordal” istana.

Alan Rusbridger, mantan chief editor The Guardian, pernah menulis artikel kritis berjudul Who Broke the News (theguardian.com, 2018). Tulisan itu menggambarkan sinisme media ketika pemerintah berkuasa berusaha mencegah surat kabar mengungkap penipuan yang melemahkan warganya. Protes publik dalam kasus CNN Indonesia ini menjadi pengingat mendesak bahwa jurnalisme sejati tetap penting bagi demokrasi republik.

Skandal Lingkaran Kekuasaan

Hingga tulisan ini dibuat, belum ada keterangan resmi pemerintah, khususnya Biro Pers Istana, yang memadai mengenai alasan pencabutan ID Card liputan wartawan CNN Indonesia di istana. Alasan yang disampaikan belum menjawab persoalan, meskipun Biro Pers Sekretariat Presiden telah menyampaikan permintaan maaf dan mengembalikan kartu identitas liputan kepada CNN pada 29 September 2025.

Apa yang dilakukan BPIM Istana kali ini ibarat mengulang praktik pembatasan kerja jurnalis hingga pembredelan pers di era Orde Baru. Jika dibiarkan, ini menjadi “alarm bahaya” bagi pekerja media dan pertanda kemunduran pers serta demokrasi di Indonesia.

Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 (UU KIP) menjamin hak masyarakat atas informasi dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka dan akuntabel.

Peristiwa ini dapat disebut sebagai tragedi “skandal” yang menimpa pers di era reformasi, dilakukan oleh aktor negara di lingkaran kekuasaan. Bila negara tidak memberikan kepastian informasi kepada publik terkait program dan capaian pemerintah, maka jangan heran bila kelak terjadi banjir informasi yang simpang siur: ada berita benar, salah, palsu (fake news), hingga hoaks—tanpa ada upaya meyakinkan dari pemerintah untuk menjelaskannya.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan: adakah hubungan sikap pasif pejabat dengan kepentingan politik dalam mengamankan posisi mereka yang sarat keuntungan ekonomi di kabinet pemerintahan? Dugaan publik dan netizen di media sosial bahwa masih terdapat aktor negara yang memanfaatkan kesenjangan sosial dan keterpurukan ekonomi, sambil bersembunyi di balik lingkaran kekuasaan, semakin menemukan relevansinya.

Akhirnya, ini menjadi peringatan bagi kita semua. Sikap dan perilaku pejabat bukan tanpa risiko. Bahaya lain yang mengintai adalah munculnya gerakan solidaritas masyarakat dan netizen yang sporadis mengambil paksa kedaulatan negara yang dititipkan kepada pemerintah.

Semoga saja penggalan kisah Dante Alighieri dalam novel Inferno karya Dan Brown (2013) tidak menjadi kenyataan: “tempat tergelap di neraka disiapkan bagi orang-orang yang bersikap netral di saat krisis moral tengah terjadi.”

Sebagai pribadi, saya menitip pesan: mari terus berpikir waras dan bekerja cerdas untuk keindonesiaan kita. Amin. ***

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|