Oleh: Hakim Nur Mampa (Dokter Kesehatan Kerja)
SULTRAKINI.COM: Pembukaan lahan di Kolaka, Sulawesi Tenggara, kian masif seiring derasnya investasi tambang. Dulu masyarakat biasa membuka hutan dengan cara dibakar, tetapi sekarang metode itu mulai digantikan dengan alat berat seperti buldoser, ekskavator, dan truk. Sekilas, cara ini dianggap lebih cepat, modern, dan bebas asap. Namun, di balik kemudahannya, metode ini membawa ancaman tersembunyi yang sering luput dari perhatian, yaitu dampak terhadap kesehatan masyarakat.
Dari Hutan ke Hamparan Kosong
Membuka lahan dengan alat berat bukan sekadar menebang pohon. Proses ini mengubah ekosistem secara drastis dalam waktu singkat. Tanah yang sebelumnya kokoh karena akar pohon menjadi terbuka, mudah longsor, dan menghasilkan debu dalam jumlah besar. Saluran air alami juga terganggu, mengubah aliran sungai, dan menimbulkan sedimentasi. Aktivitas lalu lintas alat berat pun menimbulkan polusi udara dan kebisingan yang terus-menerus.
Bagi sebagian orang, perubahan itu sekadar risiko pembangunan. Namun, bagi warga yang tinggal di sekitar lokasi tambang, dampak ini terasa nyata: udara berdebu yang mengiritasi pernapasan, air keruh yang tak lagi layak diminum, hingga hilangnya sumber pangan tradisional dari hutan.
Dampak Kesehatan: Debu, Bising, dan Air
Dampak pertama yang paling nyata adalah polusi debu. Tanah yang digali dan dibiarkan terbuka diterbangkan angin, berbentuk partikel halus yang mudah terhirup. Debu halus (PM2.5 dan PM10) inilah yang dapat menyebabkan batuk, iritasi mata, hingga infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Warga yang tinggal dekat jalur hauling atau lokasi tambang sering mengeluhkan kualitas udara yang memburuk. Jika terpapar dalam waktu lama, hal ini dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan kronis dan asma.
Selain itu, kerusakan tutupan hutan berkontribusi pada naiknya suhu lokal, yang berpotensi menyebabkan dehidrasi dan memperburuk kondisi kesehatan kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, dan anak-anak.
Kebisingan dari mesin juga menjadi masalah serius. Suara yang terus-menerus di atas ambang batas kesehatan tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga dapat menyebabkan gangguan tidur, peningkatan tekanan darah, dan dalam jangka panjang menimbulkan risiko penyakit kardiovaskular.
Akibat pembukaan hutan secara mekanis, kekeruhan dan pencemaran pada sumber air meningkat serta menambah risiko banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Keduanya berdampak pada kesehatan: banjir memicu diare dan penyakit kulit, sedangkan kekeringan mengurangi akses air bersih.
Perubahan ekosistem juga berdampak pada rantai penyakit. Hilangnya habitat alami mendorong hewan liar, termasuk tikus dan nyamuk, lebih dekat dengan permukiman. Ini meningkatkan potensi penularan penyakit zoonosis seperti leptospirosis, malaria, atau demam berdarah. Dalam jangka panjang, risiko penyakit menular ini bisa menjadi beban baru bagi layanan kesehatan daerah.
Tak hanya itu, kualitas gizi masyarakat juga bisa terdampak. Ketika lahan produktif berganti menjadi kawasan tambang, akses terhadap pangan lokal berkurang. Jika ditambah dengan pencemaran air, ancaman gangguan gizi pada anak-anak menjadi nyata, sebagaimana telah diingatkan oleh sejumlah penelitian tentang keterkaitan degradasi lingkungan dengan gizi buruk.
Peran Pemerintah Daerah dan Perusahaan
Pemerintah Daerah Kolaka memegang peran penting dalam mengendalikan dampak deforestasi mekanis. Regulasi yang lebih ketat perlu ditegakkan, terutama kewajiban kajian kesehatan lingkungan dalam setiap dokumen AMDAL. Jika tidak, dampak kesehatan hanya akan dianggap formalitas.
Selain izin, Pemda juga perlu membangun sistem pemantauan kualitas udara, air, dan kebisingan yang dilakukan secara rutin dengan hasil yang transparan kepada publik. Data terbuka ini bisa menjadi dasar advokasi sekaligus kontrol sosial, sehingga masyarakat tahu risiko yang dihadapi.
Kapasitas puskesmas di sekitar tambang di Kolaka harus diperkuat agar mampu mendeteksi dini penyakit-penyakit terkait lingkungan, dari ISPA hingga malaria. Semua upaya ini perlu didukung dengan edukasi publik, misalnya melalui penyuluhan di desa dan sekolah, agar masyarakat tahu langkah sederhana untuk melindungi diri.
Di sisi lain, perusahaan tambang juga tidak bisa bersembunyi di balik jargon pembangunan. Tanggung jawab mereka jauh melampaui produksi nikel atau kontribusi pajak. Secara teknis, perusahaan wajib mengendalikan debu dengan penyemprotan jalan hauling, membangun sabuk hijau (green belt), dan memastikan saluran air tidak mencemari sungai.
Program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) semestinya diarahkan langsung pada kesehatan masyarakat: pemeriksaan kesehatan rutin, distribusi masker, hingga penyediaan sumber air bersih. Lebih penting lagi, perusahaan perlu membuka data emisi, kualitas air, dan tingkat kebisingan secara berkala kepada pemerintah maupun masyarakat. Transparansi ini menjadi penanda keseriusan mereka melindungi warga sekitar.
Tak kalah penting, perusahaan juga wajib menyiapkan mekanisme pengaduan cepat dan tindak lanjut medis jika terjadi keluhan kesehatan di masyarakat. Tanpa itu semua, janji pembangunan hanya akan menjadi retorika kosong.
Peran Masyarakat: Mitigasi Sehari-hari
Masyarakat juga memiliki peran dalam melindungi diri. Beberapa langkah sederhana dapat membantu mengurangi risiko: menggunakan masker saat beraktivitas di area rawan debu, merebus air sebelum dikonsumsi, menutup rapat makanan agar tidak terkontaminasi, serta menguras tempat penampungan air secara rutin untuk mencegah nyamuk.
Tak kalah penting, masyarakat perlu aktif melaporkan keluhan kesehatan ke puskesmas agar data dapat menjadi dasar advokasi kesehatan lingkungan. Langkah-langkah kecil ini bukan solusi menyeluruh, tetapi penting untuk menekan dampak sementara sambil mendorong perubahan kebijakan yang lebih sistemik.
Menjaga Keseimbangan Pembangunan
Deforestasi mekanis di Kolaka adalah cermin dilema pembangunan. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk pertumbuhan ekonomi melalui industri tambang. Di sisi lain, ada ancaman kesehatan yang sering tidak kasat mata, namun nyata dirasakan masyarakat.
Menyeimbangkan keduanya adalah tugas bersama: pemerintah sebagai pengatur, perusahaan sebagai pelaku, dan masyarakat sebagai pihak yang terdampak sekaligus penjaga lingkungan. Kesehatan tidak boleh dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Sebaliknya, keberlanjutan kesehatan masyarakat justru menjadi fondasi pembangunan yang sesungguhnya.
Kolaka berpeluang menjadi contoh daerah yang mampu membangun tanpa mengorbankan warganya. Namun peluang itu hanya bisa terwujud jika kita berani melihat ancaman tersembunyi ini, lalu menanggapinya dengan kebijakan dan tindakan nyata.***