![](https://sultrakini.com//2024/12/IMG-20241207-WA0003.jpg)
SULTRAKINI.COM: LOMBOK– Di balik pesona budaya Indonesia yang kaya, ada sebuah tradisi pernikahan yang unik dan penuh makna, yakni kawin culik atau yang lebih dikenal dengan sebutan Merarik dalam masyarakat Suku Sasak di Dusun Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Puju, Kabupaten Lombok Tengah. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun oleh para nenek moyang mereka.
Berbeda dengan adat pernikahan di banyak daerah, dalam tradisi kawin culik, seorang pria yang ingin menikahi perempuan pujaannya harus terlebih dahulu menculik sang wanita dari rumahnya pada malam hari. Setelah itu, sang gadis akan dibawa ke rumah kerabat dekat untuk menghindari keributan. Rencana penculikan ini bukanlah hal yang terbuka, namun hanya pasangan calon pengantin dan beberapa kerabat dekat yang mengetahui rencananya. Tujuannya untuk menjaga agar tidak terjadi keributan yang bisa menggagalkan prosesi tersebut. Jika kekacauan terjadi, sang pria harus siap membayar denda.
Setelah penculikan, keluarga pria diwajibkan melapor kepada kepala dusun di mana sang gadis berasal untuk memberi tahu orang tua bahwa anak mereka telah “diculik”. Tahapan ini disebut Selabar dan Majetik. Selanjutnya, tahapan Nuntut Wali dilaksanakan, di mana keluarga pria mengutus perwakilan untuk meminta izin kepada keluarga wanita agar mereka bisa menjadi wali dalam akad nikah. Proses berlanjut dengan tahapan Sorong Serah Aji Krame, yang melibatkan saksi-saksi penting, mulai dari kepala dusun hingga masyarakat setempat.
Tradisi ini berakhir pada tahapan Mbales Ones Nae, sebuah acara silaturahmi yang mempererat hubungan antara kedua keluarga. Di sini, kedua belah pihak saling mengenal lebih dekat, sehingga hubungan antar keluarga menjadi lebih harmonis.
Menariknya, dalam masyarakat Suku Sasak, seorang wanita dianggap belum siap menikah meskipun telah diculik jika ia belum mampu menenun sarung tradisional. Sarung tenun pertama yang dihasilkan akan diberikan sebagai seserahan kepada orang tua sebagai tanda bahwa gadis tersebut telah dewasa dan siap untuk menikah.
Salah seorang warga Dusun Sade, Hariadi, menjelaskan bahwa meskipun seorang gadis sudah diculik, jika ia belum bisa membuat sarung tenun, ia belum bisa dinikahkan. “Sarung tenun itu akan diserahkan kepada orang tua sebagai simbol ia telah dewasa dan siap menikah,” ujarnya.
Jika ada gadis yang diculik namun belum bisa menenun, ia akan diajarkan terlebih dahulu hingga bisa menenun, baru kemudian dinikahkan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi ini, kedewasaan dan kesiapan menikah tidak hanya diukur dari usia, tetapi juga keterampilan dan kesiapan mental seseorang.
Tradisi kawin culik ini bukan hanya sekadar ritual pernikahan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kedewasaan, keharmonisan keluarga, dan penghormatan terhadap adat yang telah turun temurun dilestarikan oleh masyarakat Suku Sasak.
Laporan: Amran Mustar Ode