Siapa yang Untung, Siapa yang Buntung? Analisis Kritis Pegiat Lingkungan atas Rantai Dampak Smelter IPIP

2 days ago 10

SULTRAKINI.COM: KOLAKA-Pembangunan Smelter IPIP yang berdiri gagah dan megah di Desa Oko-Oko, Desa Sopura, dan Desa Lamedai, Kecamatan Pomalaa, terus menjadi pusat perdebatan. Jika pemerintah dan investor menyoroti dampak ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, para pegiat lingkungan justru mengibarkan bendera peringatan akan risiko ekologis jangka panjang yang mereka anggap mengancam masa depan wilayah tersebut.

Pembangunan yang disebut sebagai bagian dari lompatan hilirisasi nikel nasional ini dinilai oleh aktivis tidak hanya mengubah lanskap, tetapi juga membawa ancaman serius terhadap keseimbangan alam dan penghidupan masyarakat lokal yang tradisional.

Apa Kata Para Pegiat Lingkungan?

Berikut suara keprihatinan dalam penjelasan panjang dan terperinci oleh para pegiat lingkungan terkait pembangunan kawasan industri smelter di Desa Oko-Oko, Sopura, dan Lamedai.

Bidang Advokasi Walhi Sultra, Gian Purnama Sari, menerangkan bahwa pembangunan smelter sering diklaim sebagai “hilirisasi hijau”. Namun, dalam perspektif pegiat lingkungan di Indonesia, solusi hilirisasi hijau dengan mengandalkan aktivitas smelter—dalam hal ini PLTU captive—dianggap sebagai solusi palsu. Hanya namanya hilirisasi hijau, tetapi penerapannya justru banyak “hitamnya”. Dampak negatif smelter menyebabkan lingkungan masyarakat menjadi tidak seimbang, bahkan rusak. Untuk studi kasus wilayah, Walhi telah mempublikasikan banyak data terkait dampak negatif PLTU PT OSS dan PT VDNI, baik secara kesehatan karena pencemaran udara, hingga kehilangan sumber kehidupan yang membuat masyarakat mengalami penurunan ekonomi dan kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari, khususnya di Morosi, Kapoiala Baru, dan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Konawe, Sultra.

Ditambah lagi pembabatan hutan, termasuk hutan lindung, untuk aktivitas pertambangan. Salah satu contohnya terjadi di Pulau Kabaena: dari 15 IUP aktif, 13 di antaranya berada di kawasan hutan lindung. Selain itu, di Konawe Utara, 72% kehilangan hutan berasal dari ekspansi industri ekstraktif. Selama dua dekade terakhir, Konut kehilangan 39,3 ribu hektare hutan primer basah, setara dengan 69% dari total tutupan pohon yang ada.

Gian Purnama Sari menegaskan bahwa ini bukan solusi iklim. Hutan sebagai sumber daya alam seharusnya tidak hanya dipandang sebagai pabrik bahan mentah atau tempat pembuangan limbah. Hutan adalah bagian dari kehidupan manusia yang harus dilindungi. Iklim yang baik hanya tercapai jika ada keseimbangan sosial–ekologis. Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement untuk menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 2°C. Komitmen NDC juga menetapkan target penurunan emisi 31,89% melalui usaha nasional. Namun, jika melihat masifnya penebangan hutan dan aktivitas PLTU captive, target tersebut semakin sulit dicapai.

Deforestasi dan alih fungsi hutan mengganggu kemampuan hutan menyerap dan menyimpan air, mengurangi daya resap tanah, serta merusak regulasi siklus air. Ini menyebabkan penyusutan sumber air, sungai keruh, dan meningkatkan risiko banjir serta longsor. “Ini bukan lagi tanda-tanda; di Sultra dampaknya sudah terjadi. Di beberapa wilayah seperti Konawe, Konawe Utara, Bombana (Pulau Kabaena), dan Kolaka, sungai menjadi menguning hingga ke hilir laut. Pada Maret 2025, banjir di Konawe Utara merendam ruas Trans Sulawesi di Desa Sambandete, Kecamatan Oheo, dengan ketinggian hingga lebih dari 1 meter. Di Kolaka, kawasan PT Indonesia Pomalaa Industrial Park (IPIP) juga mengalami banjir lumpur pada 10 November 2025 yang merendam sawah dan lahan masyarakat di Desa Oko-Oko dan Lamedai,” terangnya.

Ia menambahkan, dampak penebangan hutan untuk alih fungsi lahan menjadi kawasan industri juga menyebabkan banjir yang membawa lumpur kuning dari aktivitas tambang. Berdasarkan hasil investigasi, warga yang berprofesi sebagai petani menyatakan bahwa banjir dulu memberi manfaat karena air masih jernih dan menyuburkan tanaman. Kini, banjir justru merusak karena sedimentasi lumpur tambang membuat lahan sulit ditanami dan menyebabkan gagal panen, sehingga menurunkan pendapatan mereka.

“Berdasarkan data dan temuan pelanggaran, banyak perusahaan tambang di Sultra beroperasi di kawasan hutan tanpa izin resmi, sehingga melanggar aturan perlindungan hutan. Kami menuntut moratorium semua proyek smelter dan tambang di hutan, serta penegakan hukum terhadap korporasi perusak lingkungan. Selain itu, kami meminta rehabilitasi dan restorasi ekologis, serta transparansi pemerintah dalam pengawasan, agar laporan RKL–RPL setiap perusahaan dapat diakses masyarakat terdampak sebelum izin baru diberikan,” jelasnya.

Kebijakan hilirisasi nikel yang digencarkan pemerintah, menurutnya, menunjukkan kontradiksi antara target produksi dan pertumbuhan ekonomi dengan komitmen lingkungan. Di Sulawesi, terutama Sultra, ekspansi industri ekstraktif sejalan dengan deforestasi, kerusakan ekologi, dan pelanggaran hak masyarakat. Ini menunjukkan kegagalan menyelaraskan kebijakan ekonomi dengan keberlanjutan ekologis.

Ketiga wilayah industri tersebut berpotensi menjadi “zona sacrifice” jika tidak dijalankan berdasarkan prinsip sosial–ekologis. Jika kerusakan hutan terus terjadi, krisis air bersih akan semakin dekat, ancaman banjir dan longsor meningkat, serta daya dukung ekosistem melemah. Warga petani di Sungai Oko-Oko pun telah merasakan dampaknya: sawah rusak dan gagal panen.

“Jika smelter mulai beroperasi, polusi dapat merusak daratan, masyarakat lokal terpinggirkan, kesehatan memburuk, dan mata pencaharian nelayan serta petani tradisional hilang. Wilayah ini akan menjadi zona sacrifice bagi industri,” ujarnya.

Ia menegaskan, “Setiap pohon yang tumbang hari ini memiliki konsekuensi bagi hidup kita besok. Jangan melihat alam sebagai ruang eksploitasi semata. Banjir yang membawa tanah kuning, lumpur, dan kayu gelondongan bukan musibah alam, tetapi akibat hilangnya penyangga terakhir kita. Hutan yang hilang hari ini adalah bencana yang menunggu waktu.”

Dampak Lain dari Pembangunan Smelter IPIP

Juru Kampanye Mineral Kritis Trend Asia, Arko Tarigan, juga merinci dampak pembangunan smelter IPIP yang berada di kawasan permukiman penduduk. Menurutnya, kawasan industri IPIP merupakan industri nikel HPAL yang dikembangkan oleh investasi Huayou Cobalt asal Tiongkok dengan label PSN untuk mengolah bijih nikel limonit. Pemilihan Desa Oko-Oko, Sopura, dan Lamedai bukan tanpa alasan, melainkan karena kedekatannya dengan tambang Vale dan tambang lain sehingga memudahkan transportasi pengiriman ore dan menekan biaya.

Untuk kebutuhan energi, kawasan PSN IPIP akan menggunakan PLTU captive. PLTU captive memakai air laut untuk mendinginkan turbin, sehingga penggunaan air laut meningkat dengan standar ketat. Jika perusahaan justru menggunakan air tanah, ancamannya akan semakin besar, seperti kasus di KIBA, Bantaeng, yang ditolak Trend Asia. “Kami menolak pembangunan PLTU captive di kawasan smelter IPIP. Opsi yang lebih aman adalah menarik listrik dari PLN sambil mendorong penggunaan energi terbarukan,” tegasnya.

Ia menambahkan, jika berkaca pada kawasan IMIP di Morowali, dampak kesehatan seperti meningkatnya kasus ISPA sangat mungkin terjadi di IPIP. Masyarakat dapat tergusur, kehilangan mata pencaharian, dan ekosistem berubah total. Ini seperti “memindahkan kota ke desa”, sementara daya dukung wilayah tidak memadai.

Arko memperkirakan bahwa Desa Oko-Oko, Sopura, dan Lamedai yang agraris akan berubah menjadi kawasan yang mengimpor bahan pangan. Hasil bumi seperti padi dapat hilang. “Dampaknya akan dibebankan kepada daya dukung lingkungan. Air laut di sekitar smelter bisa meningkat suhunya, mata pencaharian lokal hilang, makanan khas lenyap, hingga adat istiadat berubah.”

Ia juga mengkritik skema investasi yang dinilainya tidak adil. “Nilai tambah pajak ekspor tidak sebanding dengan pendapatan smelter, apalagi investor mendapat fasilitas pajak 0%. Lapangan kerja yang dijanjikan tidak sebanding dengan kerusakan alam. Harusnya hilirisasi tidak dilakukan secara masif dan merusak. Negara mestinya melihat bahwa komoditas agraria seperti cengkeh dan pala jauh lebih berkelanjutan.”

Terkait penetapan PSN yang ditentukan pusat, Arko menyebut dinamika politik sangat kuat, sementara kebutuhan masyarakat daerah tidak diperhatikan. “Masyarakat di desa tidak membutuhkan mobil listrik. Orang kota yang menikmatinya. Negara harus melihat kehancuran ekologis yang terjadi. Kita tidak membutuhkan hilirisasi yang menghancurkan.”

Ia menegaskan, skenario terburuk adalah investasi ugal-ugalan yang mengabaikan dampak ekologis dan manusia. “Indonesia akan menjadi korban ganda: alam hancur, masyarakat sakit, dan negara menanggung biaya. Investor bisa saja pergi kapan saja.”

Karena itu, ia menekankan penghentian izin baru tambang dan smelter, serta moratorium terhadap izin yang telah ada. Ia juga mempertanyakan dokumen Amdal IPIP yang belum ditemukan dalam proses investigasi. “Dokumen Amdal seharusnya bisa diakses warga terdampak, bukan hanya perusahaan dan pemerintah.”

Ia menyoroti persoalan limbah slag yang kini tidak lagi dikategorikan sebagai limbah B3 melalui Kepmen LHK No. 162/2022. “Karena slag tidak lagi masuk kategori B3, banyak kawasan smelter menggunakannya untuk reklamasi laut dan penimbunan jalan. Ini sangat mengkhawatirkan.”

Laporan: Anti

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|