Pilkada Tantrum

1 month ago 40

Catatan akhir tahun: Nasir Andi Baso  

Pelaksanaan pilkada telah usai dengan segala aroma nano-nano yang mewarnainya. Teori tentang kedaulatan ada di tangan rakyat   menimbulkan pertanyaan besar  apakah uang yang menentukan kedaulatan atau kedaulatan yang telah tergadai atas nama demokrasi?

Pesta demokrasi yang seharusnya melahirkan sebuah harapan indah, tetapi yang terjadi adalah suasana amoral politik vulgar dan praktek bar-bar dari pintu ke pintu atau dari pojok-pojok yang terang benderang membagikan “saweran politik”. Dulu, juru bayar atau peluncur yang mencari sasaran saweran (istilah lama: serangan fajar), tetapi saat ini yang terjadi pemilik suara kasak kusuk mencari dan menanyakan mengapa saya belum diserang, ….mana serangannya, …manami,  …kapan di antar, dst.

Ada suasana histeria mencari uang sapol (saweran politik). Suasana histeria tersebut mirip tantrum politik dan terjadi sampai saat selesai pencoblosan di masing-masing TPS.

Selesai penulis mencoblos pada Pilkada lalu, iseng- iseng keliling Kota Kendari melihat sekilas beberapa TPS, setelah itu mampir ke sebuah swalayan. Betapa penulis kaget karena di semua kasir tempat membayar penuh orang antri. Aneh karena tidak seperti biasanya, tanggal 27 hari pencoblosan adalah tanggal tua, apakah ini ekses dari maraknya “sapol”. Perlu ada penelitian serius tentang berapa uang beredar di masyarakat saat pilkada tersebut.

Uang memang bukan segalanya tetapi ternyata uanglah yang menentukan segalanya, uanglah menjadi raja di raja jika ingin memenangkan pilkada. Bukan karena figur atau program. Persoalan dari mana asal usul uang tersebut tidak masuk dalam ranah etika politik yang perlu dipersoalkan, karena yang dipentingkan adalah sihae, …opio, …saopea, …siaga, dan piro. Nilai penawaran itulah yang menarik bagi publik. Pemilik suara.

Jumlah suara masing-masing paslon telah dihitung, telah diplenokan oleh penyelenggara.  Hasilnya secara dejure belum inkrah karena masih ada tahapan tersendiri yang melewati gugatan sidang Mahkamah Konstitusi.

Proses politik memang tidak bisa berjalan tunggal, karena seperti yang pernah diucapkan oleh Hamdan Zulvan bahwa hati-hatilah berteman atau bermain politik sebab politik hakekatnya bukan berada dalam ruangan hampa tetapi politik itu berada dalam ruangan sampah.

Seperti pesta demokrasi yang baru selesai dan menyisakan sampah politik berjenis sampah B3. Harapan semua pihak yang sehat akal, sehat nurani, sehat harapan dan sehat bernegara adalah putusan MK. Walaupun masih ada sebagian orang menganggap bahwa MK adalah mahkamah kalkulator dan kebenarannya kita tanyakan kepada angin sopoi- sopoi di atas Teluk Kendari.

Sembari menunggu kinerja MK tiba-tiba pikiran dan nurani publik dihebohkan oleh terungkapnya uang palsu yang nilainya di luar nalar dan konon kualitas upal tersebut luar biasa sophiticated. Nilainya yang begitu besar. Pertanyaannya adalah apa core motivenya? Apakah ada kaitannya dengan Sapol yg begitu meriah hinggar binggar sehingga mengakibatkan tantrum politik di masyarakat? Sekali lagi mari kita tanyakan kepada angin sopoi- sopoi di akhir tahun 2024 ini.

Gegap gempita pilkada tahun ini oleh presiden RI dipersepsikan sudah di luar ambang batas tolerir akibat maraknya permainan uang. Uang yang dikeluarkan oleh paslon tertentu sdh di luar ambang batas kewajaran, kalau uang tersebut dianalogikan sebagai investasi maka konsekuensinya adalah tahun keberapa terjadi BEP? Atau sederhananya apakah retun on investment (ROA ) memadai? Artinya kalkulasi politik dan keekonomian cenderung akan kawin mawin melalui APBD.

Mungkin analisa bisnis dan politik seorang presiden Prabowo sudah makfum bahwa ada sesuatu yang sudah akud dalam proses demokrasi kita sehingga timbul ide ingin mengembalikan proses pilkada tersebut melalui suara atau kedaulatan rakyat melalui DPRD. Ending gagasan tersebut masih bersifat dialektika. Masih butuh proses dan kajian lebih jauh.

Tetapi ekses sosiologis masyarakat masih membekas dengan tampilan hegemoni ekonomi dengan motive siap bayar berapa pun di luar nalar uang transportasi.

Penulis teringat pemilu diera Orde Baru, politik saat itu adalah permainan isu, intrik, intimidasi, agitasi serta keterlibatan semua aparat atas nama menjaga trilogi pembangunan: stabilitas nasional, ekonomi dan pemerataan pembangunan bisa dipahami saat itu.

Tetapi diera reformasi dan demokrasi saat ini isu tentang “kekuatan tak terlihat” tetapi diketahui permainannya adalah sesuatu yang luar biasa berani dan sukses menjalankan perannya.

Masyarakat awam yang telah menikmati sajian sesat dan sempat  mabuk serangan dengan segala eksesnya, sekarang tetap saja seperti semula tidak merubah nasib dan kehidupannya.

Setelah semuanya selesai apakah masyarakat dapat menggugat kepada pemenang pilkada tersebut untuk merealisasikan janji politiknya? Jawaban skeptisnya ini transaksional alias jual beli, masing-masing pihak telah menyelesaikan fungsi jual belinya. Sekali lagi saatnya MK memutuskan yang terbaik untuk masa depan bangsa ini. Indonesia. (Kendari, Jumat, tanggal 27 Desember 2024, tepat sebulan lalu kita berpilkada).

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|