Oleh: Inan Fauziyah
(Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada)
SULTRAKINI.COM: Pulau Wawonii, yang terletak di Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara, berada dalam dilema serius akibat aktivitas penambangan nikel yang merusak. Aksi protes yang semakin menguat dari masyarakat lokal mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap eksploitasi sumber daya dan menegaskan konflik antara kepentingan ekonomi elit yang merugikan serta nasib masyarakat setempat yang terabaikan. Suara warga Wawonii dengan tegas mengecam pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan yang mereka alami.
Penolakan masyarakat Wawonii terhadap aktivitas penambangan berakar pada pelanggaran prinsip hukum yang jelas, terutama yang melarang penambangan di pulau kecil yang dilindungi. Dalam konteks ini, kepentingan perusahaan tambang secara terang-terangan mendominasi, secara brutal mengesampingkan hak-hak masyarakat dan kelestarian lingkungan demi akumulasi keuntungan. Dalam perspektif Jeffrey Winters, fenomena ini mencerminkan oligarki, di mana elit berkolusi dengan otoritas politik yang secara sistematis mengabaikan undang-undang yang seharusnya melindungi masyarakat dan sumber daya alam.
Di Kabupaten Konawe Kepulauan terdapat lima perusahaan nikel yang beroperasi, yang semakin memperdalam masalah yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Wawonii. Dominasi perusahaan-perusahaan ini tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial yang signifikan. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut sering kali berlangsung tanpa mempertimbangkan suara dan hak-hak masyarakat lokal. Dalam konteks ini, para pemilik perusahaan dan elit politik berkolusi, mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang seharusnya melindungi wilayah yang sensitif secara ekologis ini. Dengan begitu, keberadaan perusahaan nikel tersebut menjadi ilustrasi nyata dari konflik antara kepentingan ekonomi elit dan kesejahteraan masyarakat, di mana aspirasi dan hak-hak masyarakat setempat terpinggirkan.
Selaras dengan amanat Pasal 33 UUD 1945, Pulau Wawonii seharusnya dilindungi, tetapi malah diabaikan. Aktivitas pertambangan ini jelas bertentangan dengan Pasal 23 UU Nomor 27 Tahun 2007, yang mengatur penggunaan pulau kecil untuk konservasi, pendidikan, dan kegiatan ramah lingkungan, tanpa memberikan ruang bagi eksploitasi mineral. Lebih tragis lagi, salah satu perusahaan tambang, yaitu PT GKP, telah melanggar Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57 P/FUM/2022 dan Putusan MA Nomor 14 P/HUM/2023, yang secara tegas membatalkan Peraturan Daerah (Perda) RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021, terutama pada pasal-pasal yang mengatur kegiatan pertambangan. Pelanggaran ini menunjukkan ketidakacuhan terhadap supremasi hukum.
Pelanggaran hukum yang monumental ini tidak hanya mengindikasikan ketidakadilan yang mendalam, tetapi juga menyoroti betapa lemahnya suara masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang krusial terkait dengan lingkungan dan kehidupan mereka sehari-hari. Kesempatan mereka untuk mendapatkan perwakilan yang adil dan efektif telah tergerus oleh dominasi kepentingan elit yang jelas-jelas melanggar hak asasi masyarakat. Oleh karena itu, reformasi struktural yang mendesak diperlukan untuk memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat serta menegaskan perlindungan terhadap hak-hak mereka dan sumber daya alam yang ada di Pulau Wawonii.
Dampak Lingkungan yang Mengkhawatirkan
Dampak penambangan nikel di Pulau Wawonii semakin nyata dirasakan oleh masyarakat, dengan berbagai konsekuensi merugikan, baik dari segi kesehatan maupun kerusakan ekosistem yang krusial. Pencemaran mata air, yang merupakan sumber utama kebutuhan air bersih, telah menimbulkan masalah serius bagi kesehatan masyarakat. Pencemaran ini menyebabkan meningkatnya kasus penyakit, seperti gangguan pernapasan dan pencernaan. Keruhnya sumber air di dua desa, yaitu Desa Sukarela Jaya dan Desa Dompo-Dompo, semakin memperparah keadaan. Masyarakat terpaksa menghadapi risiko kesehatan yang terus-menerus, yang memaksa mereka untuk mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk perawatan kesehatan, sehingga mengganggu kesejahteraan ekonomi mereka.
Selain dampak kesehatan, pencemaran yang terjadi di daratan juga meluas ke ekosistem laut. Lumpur yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan menutupi terumbu karang, sebuah habitat penting bagi beragam spesies ikan. Kerusakan terumbu karang ini menyebabkan penurunan populasi ikan, yang tidak hanya mengancam keamanan pangan lokal, tetapi juga berdampak signifikan bagi mata pencaharian para nelayan. Dengan hasil tangkapan yang semakin menurun, banyak nelayan menghadapi kesulitan ekonomi, berpotensi menjebak mereka dalam kemiskinan sistemik yang lebih dalam.
Debu dari aktivitas pertambangan juga merusak sektor pertanian, termasuk tanaman seperti pohon jambu mete, yang menyebabkan kegagalan tanam. Kehilangan sumber pendapatan dari hasil pertanian membuat masyarakat semakin terdesak dan menciptakan ketegangan yang lebih besar antara mereka dan perusahaan tambang. Dalam konteks ini, dominasi kekuasaan ekonomi elit berfungsi sebagai penghalang, di mana keputusan yang didominasi oleh kepentingan jangka pendek mengabaikan dampak jangka panjang bagi kesehatan masyarakat dan keberlangsungan lingkungan.
Perampasan Lahan dan Kehilangan Identitas
Isu perampasan lahan menimbulkan ketidakpastian dan hilangnya hak milik masyarakat. Perusahaan tambang PT GKP tidak hanya melakukan invasi ke lahan pertanian, tetapi juga didukung oleh berbagai pihak, termasuk aparat TNI dan kepolisian. Situasi ini mencerminkan bagaimana kekuasaan elit dapat mengesampingkan hak-hak masyarakat. Tanah bukan sekadar sumber daya, melainkan representasi identitas budaya dan warisan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Kehilangan identitas ini merupakan kerugian mendalam yang tidak dapat diukur dengan nilai finansial.
Dalam perspektif teori oligarki, situasi ini menunjukkan dominasi elit yang melanggengkan ketidakadilan. Ketika masyarakat menuntut hak atas tanah dan sumber daya, sering kali tindakan represif dari aparat memicu kekhawatiran serta ketidakpuasan yang mendalam. Akibatnya, perampasan lahan ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga menciptakan potensi konflik sosial yang semakin tajam. Ketidakpuasan yang dirasakan masyarakat berpotensi memicu aksi kolektif, termasuk protes, pembentukan aliansi masyarakat, dan gerakan pro-lingkungan sebagai respons terhadap tekanan tersebut. Pengalaman kolektif ini memiliki kekuatan untuk mendorong pengakuan hak-hak masyarakat, dengan upaya mereka dalam menjaga tradisi dan nilai-nilai budaya di tengah modernisasi yang merugikan.
Jauh-jauh hari, Winters (2011) menjelaskan bahwa oligarki dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan dan kebijakan publik, baik secara langsung maupun tidak. Dalam konteks Wawonii, oligarki menjalin relasi dengan pemerintahan pusat untuk mendapatkan izin pertambangan, meskipun jelas melanggar aturan dan mengabaikan kepentingan lingkungan serta masyarakat lokal. Dalam teori oligarki, Winters menunjukkan bahwa oligarki memiliki perspektif yang berbeda dari pandangan publik, di mana tujuan utamanya adalah untuk meraih keuntungan dari bisnis, yang berarti mempertahankan basis pendapatan dan kepemilikan atas properti. Di Wawonii, kita dapat melihat bagaimana oligarki nasional memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pengelolaan sumber daya alam di tingkat lokal, yang akhirnya tidak membawa manfaat bagi masyarakat, tetapi justru menimbulkan kerusakan ekosistem dan konflik sosial yang berkepanjangan.
Harapan dan Mobilisasi Kolektif
Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, harapan bagi masyarakat Wawonii untuk bangkit semakin kuat. Masyarakat perlu memahami bahwa mobilisasi kolektif merupakan kunci untuk melawan struktur oligarki yang ada. Menciptakan kesadaran bersama akan hak-hak mereka dan dampak dari penambangan nikel adalah langkah awal menuju perubahan. Dalam konteks teori oligarki, perjuangan kolektif dapat menggoyahkan dominasi elit dan membuka ruang bagi suara masyarakat untuk didengar.
Peran organisasi non-pemerintah (LSM) dan akademisi sangat penting dalam mendukung masyarakat dalam proses ini. Edukasi dan advokasi dapat memberikan pengetahuan serta alat bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Menyusun strategi yang mendorong partisipasi masyarakat akan memperkuat posisi mereka dalam negosiasi dengan perusahaan tambang dan pemerintah, serta memastikan bahwa hak-hak mereka diperhatikan dan dilindungi.
Selain itu, penanganan isu perampasan lahan dan dampak lingkungan akibat aktivitas penambangan harus didasarkan pada pendekatan partisipatif. Suara masyarakat perlu diakui dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk memastikan keadilan yang hakiki. Penegakan hukum yang adil sangat penting untuk melindungi hak-hak masyarakat adat agar mereka tidak terus-menerus menjadi korban keserakahan korporasi dan elit yang lebih kuat. Upaya ini penting untuk menjamin keberlangsungan kehidupan yang seimbang antara aspek ekonomi dan lingkungan, serta untuk mempertahankan identitas budaya masyarakat. Hanya dengan cara ini, masa depan Pulau Wawonii dapat selaras dengan aspirasi masyarakatnya yang berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan.***