Menakar Usulan Prabowo: Pilkada kembali dipilih DPRD di Era Pasca-Reformasi?

1 month ago 30
Gambar, Muhammad Zulkifli Nur Hariru

Oleh: Muhammad Zulkifli Nur Hariru

SULTRAKINI.COM: Wacana baru dilemparkan Presiden RI Prabowo Subianto di tengah pidatonya pada puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar. Dalam pernyataannya, Prabowo mengusulkan agar kepala daerah, mulai dari gubernur, bupati, hingga wali kota, kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ia berargumen bahwa sistem ini lebih efisien, seperti yang diterapkan di beberapa negara tetangga, dan dapat menghemat anggaran negara yang selama ini terserap dalam penyelenggaraan pilkada langsung.

“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Prabowo. Uang yang dihemat, menurutnya, bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih esensial seperti pendidikan, perbaikan sekolah, hingga pembangunan infrastruktur dasar seperti irigasi

Di tengah kegelisahan akan mahalnya biaya politik dalam pilkada langsung, wacana ini menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Apakah sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD benar-benar dapat menyelesaikan persoalan anggaran? Ataukah ada risiko lain yang lebih besar, seperti tergerusnya semangat demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi? Wacana ini membuka kembali perdebatan mendalam tentang pilihan sistem demokrasi: apakah efisiensi finansial bisa sejalan dengan demokrasi yang partisipatif? Ataukah kita sedang menghadapi ancaman langkah mundur dari cita-cita reformasi?

Usulan ini bukanlah hal baru dalam sejarah pemerintahan Indonesia. Sebelum reformasi, sistem serupa pernah diterapkan, di mana kepala daerah dipilih oleh DPRD berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Namun, dalam praktiknya, pemilihan tersebut tidak terlepas dari intervensi elit politik pusat, khususnya lingkaran kekuasaan Presiden. Setelah dipilih oleh DPRD, nama-nama kepala daerah kemudian diajukan kepada pemerintah pusat untuk diangkat secara resmi. Setelah reformasi bergulir, paradigma pemilihan kepala daerah mengalami perubahan signifikan.

Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Indonesia tetap menggunakan sistem demokrasi tidak langsung, namun dengan asas desentralisasi yang lebih kuat. Kepala daerah dan DPRD memiliki posisi politik yang sejajar, meskipun pemilihan tetap dilakukan oleh DPRD. Harapan tumbuh suburnya demokrasi dan keterwakilan rakyat kemudian diwujudkan lebih jauh dengan diterapkannya pilkada langsung melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Namun, pilkada langsung pun tidak lepas dari kritik. Biaya penyelenggaraan yang tinggi, baik bagi negara maupun kontestan, menjadi salah satu isu utama. Sistem ini sering dikritik karena membuka celah bagi politik uang dan tingginya biaya politik yang dapat menciptakan beban moral bagi para calon kepala daerah.

Pemilihan kepala daerah di Indonesia telah melalui berbagai perubahan sejak reformasi, namun semuanya berlandaskan pada Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih dengan cara yang “demokratis.” Istilah “demokratis” ini memiliki makna yang luas dan multitafsir, memungkinkan penerapannya baik melalui pemilihan langsung oleh rakyat maupun tidak langsung melalui DPRD. Keduanya tetap berada dalam koridor konstitusional dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara.

Pemilihan kepala daerah secara langsung memang mencerminkan demokrasi murni, di mana rakyat secara langsung menentukan pemimpinnya. Namun, demokrasi tidak hanya soal partisipasi langsung, melainkan juga keterwakilan. Sistem pilkada tidak langsung, di mana kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD, adalah perwujudan dari demokrasi keterwakilan. DPRD sebagai wakil rakyat memainkan peran penting dalam menentukan pemimpin daerah yang terbaik melalui musyawarah.

Sistem ini tidak hanya sah secara konstitusional tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Dengan mengedepankan musyawarah melalui perwakilan rakyat di DPRD, sistem ini menegaskan bahwa demokrasi tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk partisipasi langsung.

Sebagai penutup, wacana Prabowo Subianto mengenai pilkada kembali dipilih oleh DPRD patut dipertimbangkan dalam konteks permasalahan yang melekat pada sistem pemilihan langsung saat ini. Fenomena politik uang yang marak terjadi, baik dalam bentuk serangan fajar maupun pengeluaran besar-besaran untuk kampanye, telah merusak integritas demokrasi Indonesia. Pemilih sering kali tidak memilih berdasarkan kapabilitas atau rekam jejak calon, melainkan karena pengaruh finansial.

Dampaknya, kepala daerah yang terpilih kerap berusaha “mengembalikan modal” setelah menjabat, yang membuka peluang korupsi semakin besar. Selain itu, peran pengawasan seperti BAWASLU tidak menjalankan fungsinya dengan benar. Meski telah dibentuk lembaga pengawas, pelanggaran pemilu, terutama politik uang, masih meluas dan sulit diberantas. Jika dibandingkan dengan era sebelum reformasi, meskipun politik uang tetap ada, skalanya lebih kecil, dan mekanisme pemilu yang lebih sederhana memungkinkan pengurangan biaya operasional yang signifikan.

Dengan kembali ke sistem pemilihan tidak langsung, di mana kepala daerah dipilih oleh DPRD, Indonesia dapat menekan biaya pemilu yang tinggi dan mengurangi praktik politik uang yang merusak. Sistem ini, jika diatur dan diawasi dengan baik, dapat menjadi langkah untuk memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia tanpa meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi. Wacana ini, di era pasca-reformasi, adalah refleksi penting tentang bagaimana demokrasi Indonesia dapat terus berkembang ke arah yang lebih baik, efisien, dan bebas dari korupsi.

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|