Stereotip, Penghambat Komunikasi Antarbudaya

1 month ago 45

Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima

Inipasti.com, Stereotype merupakan salah satu nilai yang dapat menyebabkan salah kaprah, penilaian membabi buta ataupun tidak berdasar. Stereotype adalah konsep terhadap suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif yang dapat menyebabkan hambatan dalam suatu komunikasi antarbudaya terkait dengan perbedaan budaya (Shoelhi, 2015).
Interaksi lintas budaya menjadi lebih umum dan tak terelakkan di dunia yang semakin terhubung. Namun, di balik keragaman budaya yang luar biasa, ada tantangan besar yang menghambat komunikasi yang efektif. Salah satunya adalah stereotip budaya, yang merupakan generalisasi yang berlebihan dan seringkali salah tentang suatu kelompok. Stereotip telah terbukti menjadi penghalang utama dalam membangun hubungan yang bermakna dan saling menghormati (Ramadani, dkk., 2024).
Kompleksitas interaksi antarbudaya menekankan pentingnya kepekaan budaya dan kesadaran budaya, yang merupakan kunci keberhasilan keterlibatan di dunia yang saling berhubungan (Ghassib, 2023). Pada akhirnya, meningkatkan kemampuan berkomunikasi antar budaya sangat penting untuk menjaga perdamaian dan keamanan di seluruh dunia (Grigoryan & Movsisyan, 2023).

Permasalahan Stereotip
Permasalahan stereotip tidak hanya dipandang sebatas permasalahan sosial semata, tetapi juga sering dikaitkan dengan permasalahan komunikasi antarbudaya. Pembelajaran komunikasi antarbudaya sering berfokus pada suatu kelompok budaya yang berbeda dengan kelompok lainnya (Martin dan Nayama dalam Akhmad, 2012). Komunikasi antar budaya juga merupakan proses terjadinya pertukaran nilai, makna norma-norma di antara individu atau kelompok yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda, dengan melalui interaksi di antara keduanya (Liliweri, 2016).
Dalam kenyataan sehari-hari, stereotip ini dapat berfungsi juga sebagai pemenuhan kebutuhan psikologis seseorang untuk menginternalisasi nilai bersama kepada individu, juga digunakan untuk membangun identitas bersama, dan juga memberi justifikasi tindakan seseorang terhadap kelompok sosial lain (Nagara, Hanum dan Listyaningrum, 2008). Dengan mempelajari interaksi dan pemprosesan informasi antar kelompok budaya dan stereotip memainkan fungsinya sebagai pengetahuan yang membantu kita untuk mengorganisir pemahaman terhadap kelompok budaya tertentu tanpa harus menguras banyak energi ketika bertemu secara langsung sehingga menjadikan tema stereotip merupakan bagian dari bahasa sehari-hari yang sering tidak kita sadari (Nelson dalam Susetyo, 2010).
Adler (Samovar, dkk, 2014) menjelaskan bahwa akan ada efek membahayakan dari stereotip terhadap komunikasi antarbudaya di mana dalam tulisannya tercatat “stereotip menjadi masalah ketika seseorang menempatkan orang di tempat yang salah, ketika menggambarkan norma kelompok dengan tidak benar, ketika mengevaluasi suatu kelompok dibandingkan menjelaskan, ketika kita mencampuradukkan stereotip dengan gambaran dari seorang individu, dan ketika gagal untuk mengubah stereotip berdasarkan pengamatan dan pengalaman kita yang sebenrnya.”
Menurut Samovar, dkk. (2014) ada empat alasan mengapa stereotipe menghambat komunikasi antarbudaya. Pertama, stereotipe merupakan sejenis penyaring, menyediakan informasi yang konsisten dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang. Kedua, bukan pengelompokan yang mengganggu komunikasi tetapi asumsi yang bahwa semua informasi spesifik mengenai suatu budaya diterapkan pada semua orang dari kelompok tertentu. Ketiga, steretipe menghalangi keberhasilan komunikasi karena stereotipe biasanya berlebih-lebihan, terlalu sederhana dan menyamaratakan. Keempat, stereotipe jarang berubah, karena stereotipe biasanya berkembang sejak awal kehidupan dan terus berulang dan diperkuat dalam suatu kelompok.
Menurut Alfarabi, dkk (Ibad, 2023) terdapat empat alasan stereotip yang dapat menghambat komunikasi antarbudaya, yaitu: pertama, stereotip adalah jenis filter yang memberikan informasi yang konsisten dengan apa yang diyakini seseorang. Sesuatu yang benar tidak mungkin diketahui, seperti stereotype perempuan sebagai satu dimensi, yaitu ibu rumah tangga. Kedua, masalah antar budaya tidak disebabkan oleh kelompok, tetapi oleh anggapan bahwa pengetahuan tertentu tentang budaya berlaku untuk semua orang dalam kelompok tertentu. Ketiga, stereotip dapat menghambat kesuksesan seseorang sebagai komunikator karena stereotip cenderung dibesar-besarkan, terlalu disederhanakan, dan terlalu digeneralisasikan stereotip berubah karena didasarkan pada asumsi dan anggapan yang setengah benar dan terkadang tidak Stereotip jarang berubah karena stereotip biasanya terbentuk lebih awal, diulang dan diperkuat dalam suatu kelompok, dan stereotip ini berkembang seiring waktu.

Timbulnya Stereotip 
Sebab munculnya stereotip adalah karena adanya perbedaan-perbedaan yang ada dalam suatu kelompok tertentu yang menimbulkan prasangka kelompok lain terhadap keunikan kelompok tersebut, misalkan perbedaan nilai, budaya, logat, agama, jenis kelamin dan sebagainya dan unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 2003).
Pengalaman interaksi lintasbudaya yang melibatkan begitu banyak warna kulit (ras), etnis, bahasa ibu, agama dan tentu saja negara bangsa selalu saja menjadi menarik jika dikaitkan dengan identitas etnis atau etnosentrisme masing-masing. Beragam identitas etnik tersebut menjadi sumber stereotip yang muncul dalam relasi antaretnik di masyarakat. Judd (Wade & Tavris, 2007) mengatakan bahwa stereotip merefleksikan perbedaan antar orang, dan mereka juga mendistorsikan kenyataan dalam tiga cara. Pertama, mereka melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok, membuat kelompok yang distereotipkan terlihat aneh, asing, atau berbahaya tidak seperti “kami”. Kedua, mereka menghasilkan persepsi selektif, orang-orang cenderung untuk melihat bukti-bukti yang sesuai dengan stereotip dan menolak adanya persepsi yang tidak sesuai dengan stereotip. Ketiga, mereka mengabaikan perbedaaan masing-masing anggota dalam kelompok asing ini. Stereotip menciptakan kesan bahwa setiap anggota kelompok tersebut pastilah sama.
Pendapat hampir senada dikemukakan Baron dan Paulus (Mulyana, 2010) stereotip terjadi karena ada beberapa faktor yang berperan. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ke dalam dua kategori: “kita” dan “mereka.” Lebih jauh, orangorang yang kita persepsi sebagai diluar kelompok kita dipandang sebagai lebih mirip satu sama lain daripada orang-orang dalam kelompok kita sendiri. Dengan kata lain, karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan kita semua, dan menganggap mereka sebagai homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognif sesedikit mungkin dalam berfikir mengenai orang lain, dengan memasukkan orang dalam kelompok, kita dapat mengasumsikan bahwa kita mengetahui banyak tentang mereka (sifat-sifat utama mereka dan kecenderungan prilaku mereka) dan kita menghemat tugas kita yang menjemukkan untuk memahami kita secara individu.

Berasal dari Narasi Sosial
Stereotip, yang merupakan generalisasi berlebihan tentang kelompok budaya, secara signifikan menghambat komunikasi antarbudaya karena menghasilkan persepsi berprasangka daripada membantu orang memahami apa yang mereka lakukan. Fenomena ini terjadi di banyak tempat dan menyebabkan kesalahpahaman dan konflik, terutama di lingkungan multikultural (Medvedovska & Pashchenko, 2024). Stereotip etnis dapat menghambat komunikasi dan mempersulit upaya untuk memahami dan menerima perbedaan di antara kelompok yang berbeda (Zhukova, et al., 2024). Selanjutnya, penilaian negatif sering berasal dari narasi sosial daripada karakteristik individu, sehingga bahasa berperan penting dalam membentuk identitas kelompok dan dapat menyebabkan stereotip (Van Sterkenburg, 2023). Oleh karena itu, menghilangkan stereotip sangat penting untuk menumbuhkan empati dan keterbukaan dalam pertukaran antar budaya.
Andrea L. Rich (Wahyudi, dkk., 2015) mengemukakan bahwa stereotip tidak muncul dengan sendirinya melalui insting tetapi stereotip ada dalam kesadaran seseorang melalui pengalaman antar etnik.
Pengalaman tersebut diperoleh melalui berbagai cara, yaitu: a) Melalui pengalaman pribadi setelah berinteraksi dengan orang yang berbeda etnik, berinteraksi dengan anggota ras, etnik, agama, atau kelompok sosial yang berbeda. b) Melalui pengalaman dari “orang lain yang relevan” misalnya mempelajari bahasa, nilai-nilai dan sikap serta keyakinan dari anggota keluarga, guru dan sahabat yang memberikan informasi tentang etnik tertentu. c) Pengalaman yang diperoleh dari media massa seperti surat kabar, majalah, film, radio dan televisi yang memberikan gambaran tentang etnik (Wahyudi, dkk., 2015).
Siapapun harus cerdas membangun kesadaran diri dan keterampilan komunikasi yang sensitif terhadap budaya lain. Untuk menciptakan lingkungan komunikasi yang inklusif dan saling memahami, orang harus menghargai perbedaan, mendengarkan secara aktif, dan menghindari penilaian cepat. Oleh karena itu, menyingkirkan stereotip dan terbuka terhadap pengalaman budaya baru dapat membantu orang berinteraksi lebih baik, memperkuat hubungan antarbudaya, dan mendorong kerja sama yang lebih baik di dunia yang semakin global.
Semoga !!!

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|