Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
Inipasti.com, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 ini merupakan pengalaman pertama bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Pada 2024, Indonesia menggelar pesta demokrasi serentak terbesar sepanjang masa yaitu Pemilu dan Pilkada. Pemilu yang diselenggarakan pada 14 Februari 2024 bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, 580 anggota DPR RI, 152 anggota DPD RI, 2.372 anggota DPRD Provinsi, dan 17.510 anggota DPRD Kabupaten/Kota. Sementara itu, Pilkada yang diselenggarakan pada 27 November 2024 di 545 daerah bertujuan untuk memilih memilih 37 gubernur/wakil gubernur, 415 bupati/wakil bupati, dan 93 wali kota/wakil wali kota.
Komisi Pemilihan Umum menjelaskan bahwa sejumlah 81,78 persen pemilih menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Presiden 2024; kemudian 81,42 persen untuk Pemilu Anggota DPR RI, dan 81,36 persen untuk Pemilu Anggota DPD RI.
Kemudian partisipasi politik masyarakat pada Pilkada serentak 2024, berdasarkan penghitungan Media Indonesia pada Sirekap, tingkat partisipasi Pilkada 2024 rata-rata nasional mencapai 68,16%. Provinsi DKI Jakarta memiliki partisipasi yang lebih rendah ketimbang rata-rata nasional, yakni 53,05%.
Dalam hal ini DKI Jakarta dengan pemilih yang kritis dan rasional gaya khas perkotaan tentu mempunyai pertimbangan yang matang, bahkan untuk tidak menggunakan hak pilih. Partisipasi dengan angka 53,05% dan yang tidak memilih sebesar 46,95% tentu menjadi pukulan berat. Kacung Marijan (2006) menganalisis bahwa pemilihan daerah tidaklah mampu untuk selalu menghadirkan pemimpin yang berkualitas.
Rendahnya tingkat partisipasi pemilih perlu menjadi catatan penting bagi penyelenggaraan Pilkada pada masa depan. Persoalannya bukan sekadar rendah secara kuantitas, melainkan karena secara simultan juga mempengaruhi kualitas keterlibatan politik pemilih. Penyelenggara pemilu dan pembentuk undang-undang seyogianya tidak hanya memperhatikan aspek teknis, tetapi juga memperhatikan aspek psikologis pemilih.
Kualitas demokrasi dalam sebuah negara ditentukan oleh kualitas partisipasi warganya. Keterlibatan warga negara dalam melakukan partisipasi dimungkinkan karena tersedianya ruang yang cukup untuk melakukan partisipasi yang dijamin oleh negara, juga kemampuan dan keterampilan dari warga negara untuk berpartisipasi dalam berbagai bentuk dan berbagai macam aspek.
Kelelahan Pemilih ?
Salah satu penyebab menurunnya partisipasi masyarakjat pada Pilkada 2024 yakni adanya kelelahan pemilih. Kita tidak bisa menafikan bahwa rangkaian Pilkada yang hanya selang beberapa bulan setelah rangkaian Pilpres usai itu sangat melelahkan, baik secara fisik maupun psikologis.
Awalnya kontestasi politik lima tahunan itu menarik dan memberi rasa suka cita bagi masyarakat. Namun, akrobat politik satu tahun terakhir membuat kita butuh banyak energi untuk memahaminya. Ditambah lagi pemandangan baliho yang terpasang tak beraturan di sepanjang jalan dan gimik politik yang tersebar di jagat) maya menambah jumlah informasi yang harus kita proses. Akibatnya, kita rentan mengalami kejenuhan informasi (information overload) (Alfaruqy, 4 Desember 2024).
Dalam kajian psikologi, fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan konsep kelelahan kognitif (cognitive fatigue). Robert Hocky (2013) melalui buku yang bertajuk The Psyhology of Fatigue: Work, Effort, and Control menjelaskan bahwa kelelahan kognitif terjadi ketika seseorang terus-menerus dipaksa mengerahkan upaya kognitif melebihi batas kemampuannya. Akibatnya, seseorang sulit melakukan analisis secara kritis dan mengambil keputusan secara tepat. Konsep itu relevan untuk menjelaskan fenomena kelelahan masyarakat dalam konteks situasi menghadapi informasi seputar Pilkada (Alfaruqy, 4 Desember 2024).
Penelitian yang dilakukan oleh Hjermislev dan Johnston (2023) menunjukkan bahwa kelelahan kognitif mempengaruhi kualitas keterlibatan politik (political engagement). Seseorang yang mengalami kelelahan akan meminimalkan keterlibatan politik, baik secara kognitif, afektif, maupun behavioral. Ia akan mengurangi aktivitas yang bersinggungan dengan politik, seperti membaca berita politik, menyimak debat, menulis pada kolom komentar media sosial, atau mendiskusikan calon pemimpin dengan orang-orang terdekat (Alfaruqy, 4 Desember 2024). Ketika tiba saat mengambil keputusan pilihan, pemilih yang lelah cenderung menggunakan heuristik (heuristic) atau aturan-aturan sederhana dalam pengambilan keputusan. Misalnya, mengambil keputusan berdasarkan kemiripan dengan kelompok tertentu atau informasi yang tersedia dalam kognisi kita.
Alih-alih mempelajari visi, misi, dan program kerja serta karakteristik personal calon pemimpin, pemilih mungkin memilih berdasarkan hal-hal yang perifer, seperti kemiripan simbol warna pakaian kandidat dengan kandidat sebelumnya yang berlaga dalam pilpres, endorsement dari tokoh-tokoh tertentu, atau familiernya wajah kandidat dalam memori kita (Alfaruqy, 4 Desember 2024).
Hasil pemantauan masyarakat sipil terhadap pelaksanaan pemungutan suara Pilkada 2024 pada Rabu (27/11/2024) menunjukkan partisipasi pemilih yang rendah. Sejumlah pengamat dan ahli pemilu menilai, pelaksanaan Pilkada 2024 yang berdekatan dengan Pemilu 2024 harus dievaluasi guna memastikan masyarakat lebih tertarik menggunakan hak pilihnya dalam ajang pemilihan selanjutnya.
Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), menunjukkan terdapat sejumlah daerah dengan partisipasi pemilih yang rendah dalam Pilkada 2024. Pemilih di Tambora, Jakarta Barat, dan Bandung, Jawa Barat, yang menggunakan suaranya kurang dari 50 persen. Angka ini menunjukkan perlunya upaya lebih keras dari penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat.
Kelelahan kognitif terjadi ketika sumber daya mental seseorang terkuras (overwhelmed) sehingga membuat mereka merasa sulit untuk terus fokus, berpikir secara jernih, membuat keputusan yang tepat, atau menyelesaikan tugas secara efektif
Kejenuhan Politik
Boleh saja, enggannya warga berpartisipasi dalam politik, misalnya enggan hadir untuk mencoblos di TPS-TPS karena adanya kejenuhan politik warga disebabkan terlalu dekatnya pesta demokrasi, mulai Pileg-Pilres 2024 dan Pilkada serentak 2024. Belum lagi pemilihan-pemilihan lain, seperti pemilihan kepala desa, pemilihan Ketua RW dan RT.
Menurut Said & Jannah (Desy & Darisman Eka Kurnia, 2020), kejenuhan sebagai suatu kondisi psikologis yang ditandai dengan kelelahan ekstrim akibat tuntutan yang terlalu banyak dan berlebihan. Kelelahan tersebut berupa kelelahan fisik, emosional, dan psikologis yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk perilaku yang tidak produktif, bahkan menarik diri dari aktivitas-aktivitas sebelumnya. Kejenuhan adalah sikap menarik diri secara fisik, emosional, dan sosial dari aktivitas-aktivitas yang menyenangkan.
Kejenuhan politik ini menjadi salah satu penyebab rendahnya partisipasi warga saat Pilkada serentak 2024. Ada sejumlah faktor yang diperkirakan mempengaruhi tinggi-rendahnya partisipasi politik seseorang ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik) (Surbakti, 2010).
Berdasarkan tinggi-rendahnya 2 faktor tersebut, Paige (Surbakti, 2010) membagi partisipasi menjadi 4 tipe. Pertama, apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi, partisipasi politik cenderung aktif. Kedua, apabila kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah, partisipasi politik cenderung pasif-tertekan (apatis). Ketiga, apabila kesadaran politik tinggi, tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah, partisipasi cenderung militant-radikal. Dan keempat apabila kesadaran politik sangat rendah, tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi, partisipasi cenderung tidak aktif (pasif).
Menurut Surbakti, faktor-faktor yang dikemukakan di atas bukanlah faktor-faktor yang berdiri sendiri (bukan variabel yang independen). Yang berarti tinggi rendah faktor tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti status sosial, status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman berorganisasi.
Menurut Milbrath (Rush dan Athoff, 2005) ada empat `faktor utama yang mendorong orang mau berpartisipasi dalam politik, yaitu : sejauhmana orang menerima rangsang politik; karakteristik pribadi seseorang; karakteristik sosial seseorang; dan keadaan politik. Myron Weiner (Anggara, 2013), ada lima faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi politik, yaitu : modernisasi; perubahan-perubahan struktur kelas sosial; pengaruh kaum intelektual dan komunikasi masa modern; konflik antar kelompok pemimpin politik; dan keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Pemicu Lain
Berdasarkan beberapa pendapat beberapa ahli, ada sedere faktor yang menyebabkan orang mau atau tidak mau ikut berpartisipasi dalam politik
Pertama, status sosial dan ekonomi. Status sosial ialah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena keturunan, pendidikan, dan pekerjaan. Status ekonomi ialah kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan. Seseorang yang memiliki status sosial yang tinggi diperkirakan tidak hanya memiliki pengetahuan politik, tetapi juga mempunyai minat dan perhatian pada politik (Surbakti, 2010).
Kedua, situasi. Menurut Surbakti, situasi politik juga dipengaruhi oleh keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung seperti cuaca, keluarga, kehadiran orang lain, keadaan ruang, suasana kelompok, dan ancaman.
Ketiga, afiliasi politik. Afiliasi berarti tergabung dalam suatu kelompok atau kumpulan. Afiliasi politik dapat dirumuskan sebagai keanggotaan atau kerjasama yang dilakukan individu atau kelompok yang terlibat ke dalam aliran-aliran politik tertentu. Afiliasi politik mendorong tumbuhnya kesadaran dan kedewasaan politik masyarakat untuk menggunakan hak politiknya secara bebas dan bertanggungjawab dalam melakukan berbagai aktifitas politik, seperti ikut dalam partai politik dalam pemerintahan, ikut dalam proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan politik (Marbun, 1996).
Keempat, pengalaman berorganisasi. Organisasi merupakan suatu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat atau bisa diartikan sebagai suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama (Simangunsong, 2004). Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Kencana (1997), partisipasi politik merupakan penentuan sikap dan keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi dan kondisi organisasinya, sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan organisasi serta ambil bagian dalam sikap pertanggungjawaban bersama baik dalam situasi politik yang melibatkan dukungan.
Kelima, kesadaran politik. Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang menyangkut tentang pengetahuan seseorang tentang lingkungan masyarakat dan politik, dan menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik tempat dia hidup. Kesadaran politik akan mendorong individu menggunakan hak
pilihnya secara rasional, di mana jika partisipasi politik tanpa kesadaran politik itu bisa saja terjadi, seperti pada kasus pemilih yang hanya sekadar menggunakan pilihannya, namun sebenarnya ia hanya asal memilih. Namun sebaliknya, jika partisipasi politik yang dilandasi oleh kesadaran politik, maka akan menghasilkan pilihan yang baik dan sesuai dengan
aspirasi yang bersangkutan (Fatwa dan Nur, 2016). Suatu kepedulian masyarakat dalam mendukung jalannya suatu sistem politik di suatu daerah, saat rendahnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik, maka dibutuhkan suatu upaya yang dilakukan oleh pihak berwewenang dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat (Azhar, 2019).
Keenam, kepercayaan terhadap pemerintah. Kepercayaan terhadap pemerintah ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah apakah ia menilai pemerintah dapat dipercaya dan dapat dipengaruhi atau tidak, baik dalam pembuatan kebijakan-kebijakan atau pelaksanaan pemerintahan.
Ketujuh, perangsang partisipasi melalui sosialisasi media massa dan diskusi-diskusi politik melalui mass media atau melalui diskusi informal.
Kedelapan, faktor karakteristik pribadi seseorang. Orang yang berwatak sosial, yang punya kepedulian besar terhadap problem sosial, politik ekonomi dan lain-lainnya biasanya mau terlibat dalam aktifitas politik (Milbrath dalam Kareth, dkk., 2018).
Kesembilan, faktor situasi atau lingkungan politik itu sendiri. Lingkungan politik yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam lingkungan politik yang demokratis, orang merasa lebih bebas dan nyaman untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik ketimbang dalam lingkungan politik yang totaliter. Lingkungan politik yang sering diisi dengan aktivitas-aktivitas brutal dan kekerasan dengan sendirinya menjauhkan masyarakat dari wilayah politik (Milbrath dalam Kareth, dkk., 2018).
Kesepuluh, faktor personal, seperti : watak masing-masing pribadi serta anggapan mereka terhadap aktifitas sosial; perasaan seberapa efektif langkah keterlibatan individu untuk mempengaruhi keputusan pemerintah; intensitas perilaku politik; dan persepsi individu terhadap tugas-tugas sosial dan masyarakat (Sofyan, 2012).
Kesebelas, rendahnya pendidikan politik dapat menjadi penyebab rendahnya partisipasi politik warga. Sesungguhnya pendidikan politik adalah kunci untuk meningkatkan partisipasi pemilih dan memperkuat demokrasi. Dengan memberikan pemahaman yang tepat tentang pentingnya pemilu, masyarakat dapat lebih aktif berkontribusi dalam menentukan arah masa depan bangsa. Melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, pendidikan politik dapat menjadi alat efektif untuk mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif dan representatif.
Prasojo (Widhiasthini, dkk., 2019) yang menyatakan warga negara yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam partisipasi politik disebut apati (apaty), yang disebabkan oleh beberapa hal: pertama, adanya sikap acuh tak acuh, tidak tertarik atau rendahnya pemahaman mereka mengenai masalah politik. Kedua, adanya keyakinan bahwa usaha mereka untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tidak berhasil. Ketiga, mereka tinggal dalam lingkungan yang menganggap bahwa tindakan apati merupakan suatu tindakan terpuji. Penelitian yang dilakukan Bawono (Widhiasthini, dkk. 2019) tentang perilaku pemilih dalam menggunakan hak pilih menunjukkan bahwa sebagian pemilih yang tidak menggunakan hak pilih karena tidak diberi tahu dan tidak mau tahu, tidak terdaftar sebagai pemilih, bersikap pasif, tidak memahami manfaat Pemilu.
Itulah sejumlah pemicu penyebab tergerusnya atau regresi partisipasi politik warga.
Semoga !!!