Ah Banjir!

1 month ago 23

[ESAI] Ada sebuah ironi yang tidak pernah absen menyapa kita di ujung tahun: banjir. Seperti jamuan yang diundang tanpa rela, ia datang lagi, membawa kisah lama yang terulang. Jalan-jalan tergenang, rumah-rumah tenggelam, dan manusia terjebak antara keluhan dan pengharapan yang tipis. Kita bertanya-tanya, seperti selalu, apakah ini kutukan waktu, atau hanya kelemahan kita yang belum selesai?

Tahun baru seharusnya menjadi momen perayaan: kembang api yang meluncur ke langit, harapan yang diletakkan pada angka-angka yang berubah di kalender. Namun, di banyak tempat, bunyi petasan bertukar dengan desahan air yang merembes, naik, dan akhirnya menelan.

Ada yang berkata, “Ini karena hujan.” Tapi bukankah hujan adalah bagian dari hidup di negeri tropis ini? Ia tidak pernah berdosa. Hujan turun karena alam menjalankan perannya. Maka, yang patut ditanyai adalah bagaimana kita, manusia, menjawabnya. Adakah persiapan? Adakah pembenahan? Atau hanya janji-janji yang terendam sebelum sempat ditepati?

Di televisi, kita melihat gambar-gambar yang berulang: anak kecil mengarungi genangan dengan kaki telanjang, ibu-ibu menyelamatkan kasur dan panci, dan politisi yang datang berwajah prihatin. Mereka menyodorkan bantuan, berpose di depan kamera, lalu hilang ketika air surut. Dan kita, masyarakat yang terendam, seolah lupa bahwa bencana ini bukanlah takdir, tetapi hasil dari kelalaian yang terstruktur.

Banjir bukan hanya tentang air. Ia adalah cermin dari kota yang kehilangan ruang bagi tanah untuk bernapas. Bangunan naik menggantikan sawah, beton menggusur pepohonan, dan sungai menjadi selokan yang tersumbat sampah. Tahun demi tahun, kita mendengar wacana tentang solusi: normalisasi sungai, revitalisasi drainase, hingga penghijauan. Tapi, entah mengapa, yang terlihat hanyalah pengulangan bencana, seakan masalah ini terlalu rumit untuk dijinakkan.

Menjelang tahun baru, banjir membawa sebuah pesan. Ia mengingatkan kita akan batas-batas manusia di hadapan alam, tapi juga tentang kemampuan kita untuk memilih. Apakah kita akan terus hidup dalam pola yang sama—mengabaikan, mengeluhkan, dan melupakan—atau akhirnya belajar dari genangan ini?

Mungkin tahun baru nanti, ketika air surut dan kehidupan kembali normal, kita bisa lebih dari sekadar merayakan. Kita bisa merenung dan memulai, sungguh-sungguh, sebuah perjalanan baru: memperbaiki, bukan sekadar bertahan. Karena banjir bukan hanya air yang mengalir, tetapi juga janji yang harus ditepati. Janji kepada bumi, kepada sesama, dan kepada masa depan. Ah Banjir.

A realistic illustration capturing the essence of a city in the aftermath of a flood. The scene shows waterlogged streets with small children wading through the water, barefoot, holding hands. Nearby, an older woman tries to salvage a mattress and a cooking pot. A politician stands in the background, posing in front of cameras while distributing aid, with an expression of forced sympathy. Surrounding buildings are partially submerged, and the sky is cloudy with remnants of a recent downpour. The setting feels melancholic yet reflective, emphasizing the human struggle and resilience during such disasters.Ilustrasi dibuat AI
Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|