Mencari Sekolah Yang Mengajarkan Rasa Malu

1 month ago 29

Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima

Inipasti.com, Menarik puisi Taufik Ismail yang berjudul “Mencari Sekolah yang mengajarkan Rasa Malu”.
“Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu”
Seorang ibu membawa anaknya ke sekolah A
dia mengajukan permohonan
“Pak Guru, tolong anak saya diajari rasa malu,” katanya
Kemudian, jawab kepala sekolah
“Waaah, di sekolah kami tidak diajarkan rasa malu,”
“Loh, kenapa, pak?”
“Begini, Bu, ketika murid-murid nyontek, guru-guru kami pura-pura tidak tahu,”
“Ooooh…”
Ibu itu pergi, membawa anaknya ke sekolah B
dia menyebutkan permintaan yang serupa
“Buu, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya
Kemudian, jawab ibu kepala sekolah
“Waadduh, di sekolah kami tidak lagi diajarkan rasa malu,”
“Loh, bagaimana toh itu maksudnya, Bu Kepala Sekolah?”
“Begini, begini… Ketika UAN,
ada guru ditugaskan diam-diam,
kepada murid memberi jawaban ujian,”
“ooooo…”
Ibu yang gigih itu
ibu itu sangat gigih
dia membawa anaknya ke sekolah C
dia mengulang lagi permintaan itu juga
“Pak, pak, pak, pak, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya
Jawab kepala sekolah,
“Yaaaah, kok nggak tau sih ibu ini?
Di sekolah kami kan sudah lama sekali tidak diajarkan rasa malu,”
“Loh, bagaimana itu penjelasannya Pak Kepala Sekolah?”
“Walah, walaaah, sekolah kami sudah seratus persen lulusnya,
dan itu harus dicapai dengan segala cara,”
“Bagaimana itu caranya pak?”
“dee ngaan see gaa laa caa rraa…”
“ooooooooo…”
10 (sepuluh )”O”-nya itu..

Penegakan Budaya Malu
Malu adalah cara penegakkan tata tertib atau menghidupkan budaya sekolah dengan pendekatan ihsan.
Beberapa hal yang terkait penegakan budaya malu di sekolah (Slamet Waltoyo dalam Usman, 2023) adalah: pertama, tata tertib dan budaya sekolah yang ingin ditegakkan mempunyai dasar syariat dan dapat dibuat tata tertib atau budaya di sekolah. Misalnya menebarkan salam, adab makan, adab berpakaian, adab di masjid, hak sesama muslim, adab di jamban, dan sebagainya. Kedua, semua guru harus menjadi teladan bagi pelaksanaan budaya malu kapan dan di manapun. Artinya, semua guru melaksanakannya atas dasar ihsan sehingga bisa dilihat dan dirasakan anak didik. Tanpa membatasi tempat dan waktu di sekolah dan di luar sekolah. Ketiga, bentuk budaya yang akan dikembangkan harus dibuat definisi yang jelas dan aplikatif sehingga semua guru–baik akademis maupun non akademis–dapat memahami, menjelaskan dan memberi contoh.
Adapun yang keempat, budaya sekolah diperkenalkan dan dilatihkan kepada anak sedini mungkin. Pada waktu orientasi murid baru dilatihkan secara detil kemudian secara berjenjang dilatihkan tentang semua budaya sekolah. Semua anak kelas bawah dipastikan sudah melakukan budaya sekolah kemudian pada kelas atas mulai dipahamkan mengapa anak harus memiliki budaya tersebut. Kelima, semua warga sekolah berkewajiban menjaga budaya yang dikembangkan. Menjaga tegaknya tata tertib menjadi kewajiban semua warga sekolah. Guru, juga semua warga sekolah harus “jueh” terhadap anak-anak didik. Jangan enggan dan bosan-bosan mengingatkan anak didik dan menunjukkannya. Dalam mengingatkan anak didik hendaklah digunakan pendekatan ihsan. Sifat malu selalu dikedepankan dalam menyemangati anak didik untuk menghidupkan budaya sekolah. Keenam, hal penting yang lain adalah adanya dukungan keluarga dan masyarakat dalam menjaga budaya yang dikembangkan. sekolah harus mengkomunikasikan budaya sekolah kepada orang tua sejak anaknya bergabung sebagai murid. Dalam hal ini orang tua perlu diikat dengan kontrak pendidikan yang harus disepakati.
Rasa malu selain disebabkan diri sendiri juga disebabkan oleh perlakuan orang lain. Paul J. Centi (Usman, 2023) mendaftar penyebab timbulnya rasa malu antara lain: orang tua, saudara kandung, orang lain, dan kebudayaan.

Dampak dan Ragam Rasa Malu
Dampak rasa malu antara lain berupa tidak dapat mencapai kepenuhan dalam pergaulan, mendekati orang lain terlalu berhati-hati, terlalu sadar diri, berbuat dengan sengaja agar diterima dan disukai, selalu memandang unsur-unsur negatif yang dikira ada pada dirinya. Pertama, tidak dapat mencapai kepenuhan dalam pergaulan maksudnya adalah orang pemalu selalu merasa takut kalau-kalau dirinya ditolak dalam pergaulan. Kedua, mendekati orang lain terlalu berhati-hati. Dampak ini mengakibatkan orang bersifat menunggu, karena beranggapan bahwa orang lain tak merespons dirinya, orang pemalu mendekati orang lain dengan sikap ragu-ragu. Ketiga, terlalu sadar diri adalah perasaan cemas seseorang tentang bagaimana dirinya dilihat orang lain. Orang pemalu jenis ini selalu merasa cemas berpikir bagaimana nanti penampilannya, kata-katanya, gerak-geriknya dilihat dan dinilai orang. Keempat, dampak berbuat dengan sengaja agar diterima dan disukai merupakan tindakan-tindakan seorang pemalu agar diterima dalam pergaulannya. Mereka biasanya kaku dalam berpenampilan dan terlalu sopan sehingga membuat pergaulan menjadi dingin dan kikuk. Kelima, dampak selalu memandang unsur-unsur negatif yang dikira ada pada dirinya adalah cara pandang seseorang yang menganggap dirinya selalu tidak layak, lebih jelek daripada orang lain. Orang seperti ini mempunyai konsep diri yang negatif. Bila berlarut-larut akan mengalami tekanan mental dan tidak berani bergaul dengan seorang pun (Mas’ud, 2022).
Dalam kehidupan manusia, paling tidak malu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling berkaitan, yaitu pertama, malu kepada diri sendiri; kedua, malu kepada orang lain; dan ketiga, adalah malu kepada Allah SWT (Muhammad Nuh, 2013).
Pertama, malu kepada diri sendiri, yakni malu kepada martabat pribadi dengan segala kedudukan, gelar atau sebutan yang kita sandang, sebagai apapun kita. Kalau kita disebut muslim, itu berarti kita seharusnya menjadi orang yang tunduk dan patuh kepada Allah SWT dengan segala ketentuan-Nya dan kita sangat malu bila tidak bisa tunduk kepada Allah. Bila kita disebut suami, tentu seharusnya kita malu manakala melakukan hubungan seksual dengan wanita yang bukan isteri kita. Bila kita disebut bapak, seharusnya kita punya perasaan malu bila tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita. Bila kita menjadi pejabat atau pemimpin, maka kita malu bila tidak bisa memberi pelayanan yang terbaik kepada orang yang kita pimpin, bahkan bila kita diberi amanat, maka kita akan sangat malu bila mengkhianatinya, begitulah seterusnya. Dengan kata lain, bila kita memiliki rasa malu terhadap diri kita sendiri, maka kita akan selalu menjaga nama baik atau citra diri sehingga kita tidak akan merusaknya. Karena itu, orang yang tidak memiliki rasa malu terhadap dirinya sendiri harus diwaspadai, sebab kalau ia telah merusak citra dirinya sendiri, sangat mungkin baginya untuk merusak citra orang lain, citra organisasi, bahkan citra negara.
Malu pada diri sendiri sangat mendasar, karena meski orang lain tidak tahu bila penyimpangan dilakukannya, ia justeru menjadi saksi atas dirinya sendiri terhadap penyimpangan yang dilakukan, bahkan siap membeberkan kesalahan itu di hadapan Allah SWT sebagaimana terdapat dalam firman-Nya: ”Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (QS 36:65).
Kedua, malu kepada orang lain, yakni malu bila kesalahan yang dilakukan diketahui oleh orang lain, karenanya daripada kesalahan atau dosa yang dilakukan diketahui oleh orang lain, ia merasa lebih baik tidak melakukannya. Bukan malah ia lakukan dosa tapi ia menjadi malu bila hal itu diketahui oleh orang lain lalu berusaha menyembunyikan kesalahannya itu dengan berbagai cara meskipun dengan melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya, ini merupakan sesuatu sangat berbahaya. Orang seperti ini akan mengalami kegelisahan jiwa sehingga hal ini akan membawa pengaruh yang negatif bila seseorang menjalani kehidupan dalam kondisi jiwa yang gelisah. Suami dan bapak yang gelisah tentu sangat berbahaya bagi keluarganya, apalagi bila anggota legislatif dan pemimpin yang gelisah, maka hal itu akan mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya. Rasulullah SAW bersabda: ”Dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan hati seseorang, ia tidak setuju bila hal itu diketahui oleh orang lain” (HR. Ahmad).
Di samping itu, seseorang yang malu atas dosa yang dilakukannya tapi tetap berbuat dosa adalah membahayakan orang lain, ia tidak segan-segan membunuh orang yang membongkar aibnya itu dan dalam kehidupan berjamaah bisa jadi ia akan menyingkirkan orang-orang yang memiliki idealisme.
Bentuk malu yang ketiga adalah malu kepada Allah SWT, yakni malu karena ia sudah mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya, tapi berani melanggar ketentuan Allah dengan anggapan Allah tidak mengetahuinya, padahal sebenarnya Allah SWT Maha Tahu terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, Allah berfirman: ”Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu kerjakan. Dan yang demikian itu prasangkamu yang telah kamu duga terhadap Tuhanmu. Prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS 41:22-23).
Jika kita mau memperhatikan kondisi dan keadaan manusia secara cermat, niscaya kita akan mendapati bahwa berbagai keburukan dan kejelekan terjadi, dikarenakan telah kehilangan rasa malu. Jika rasa malu dengan kedua jenisnya telah hilang dari seseorang maka tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan. Bahkan bisa jadi dirinya telah berubah menjadi syetan karena telah bangga dengan perbuatan dosa (Try, 2012).
Setiap orang mempunyai rasa malu. Akan tetapi, rasa malu itu bisa luntur dan pudar, hingga akhirnya lenyap (mati) karena berbagai sebab. Jika malu sudah mati dalam diri seseorang, berarti sudah tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari dirinya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perkataan pertama yang diperoleh oleh manusia dari perkataan kenabian adalah, ‘Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu” (HR. Abu Daud 4164).

Luntur dan Hilangnya Budaya Malu
Dapat dibayangkan, bila rasa malu itu telah luntur bahkan mungkin hilang dalam diri seseorang, segala perilakunya makin sulit dikendalikan. Sebab, dia akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji, seperti mencuri, korupsi, menipu, mempertontonkan aurat dengan pakaian yang seksi dan mini, berzina, mabuk-mabukan, pembajakan, pelecehan seksual, dan pembunuhan. Mereka sudah dikuasai oleh nafsu serakah. Orang yang sudah dikuasai nafsu serakah dan tidak ada lagi rasa malu dalam dirinya, maka perbuatannya sama dengan perilaku hewan yang tidak punya akal. Berbagai macam kemaksiatan dan kemunkaran merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupannya sehari-hari. Tidak bisa lagi membedakan yang mana haram dan yang mana halal. Bahkan ada di antara orang yang berucap sekarang ini jangankan yang halal, sedangkan yang haram saja sudah sulit diperoleh. Nauzubillah minzdalik !
Hilangnya rasa malu pada diri seseorang merupakan awal datangnya bencana pada dirinya. Sebuah hadits menyebutkan. Dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila Allah ‘azza wajalla hendak membinasakan seorang hamba, maka Dia akan mencabut rasa malu darinya, apabila rasa malu sudah dicabut darinya, maka kamu akan mendapatinya dalam keadaan sangat dibenci. Jika kamu tidak mendapatinya melainkan dalam keadaan sangat dibenci, maka akan dicabut amanah darinya, apabila amanah telah dicabut darinya, maka kamu tidak mendapatinya kecuali dalam keadaan menipu dan tertipu. Apabila kamu tidak menjumpainya melainkan dalam keadaan menipu dan tertipu, maka akan dicabut darinya sifat kasih sayang, dan apabila dicabut darinya kasih sayang, kamu tidak akan menjumpainya kecuali dalam keadaan terlaknat lagi terusir, dan apabila kamu tidak menjumpainya melainkan dalam keadaan terlaknat lagi terusir, maka akan dicabut darinya ikatan Islam” (Sunan Ibnu Majah 4044).
Dunia modern telah menunjukkan kecemerlangannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi kian menunjukkan kecanggihannya. Tetapi sangat disayangkan jika manusia-manusia yang bercokol di atas bumi ini hanyut dalam arus modernisasi dengan keangkuhannya. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya degradasi moral yang terlihat dengan nyata di setiap sudut dan pelosok. Akhlak yang miskin akan syari’at semakin meluncur jatuh ketitik nadir sehingga sepertinya sulit untuk bangkit kembali.
Jika rasa malu pada jaman dahulu saja sangat ditekankan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, maka zaman ini lebih butuh lagi oleh kita. Kita membutuh generasi-generasi yang masih memiliki rasa malu untuk membenahi ummat serta menuntun mereka pada jalan kebenaran.
Hilangnya rasa malu dalam diri kebanyakan orang merupakan penyebab dari kehancuran iman, karenanya apabila dibiarkan berlarut-larut tanpa disadari oleh mereka maka ujung-ujungnya berakhir pada kemurkaan Allah ‘aazza wa jalla. Marilah kita lihat diri kita. Apakah rasa malu saat berbuat dosa masih kita rasakan? Atau bahkan bangga dengan perbuatan dosa? Tidak dapat dijawab kecuali diri kita sendiri. Hanya pada Allah kita memohon agar diberikan rasa malu tersebut dan dikuatkan pada diri kita.
Selain ragam budaya malu sebagaimana diulas di atas, jenis budaya malu yang lain (Anonim dalam Usman, 2023) di antaranya : pertama, malu karena berbuat salah, seperti malunya Adam As yang melarikan diri saat di surga. Allah bertanya, “Mengapa kamu lari dariKu wahai Adam?” Adam menjawab, “Tidak wahai Rabbi, tetapi karena aku merasa malu terhadap Engkau.” Kedua, malu karena keterbatasan diri, seperti malunya para Malaikat yang senantiasa bertasbih siang malam, tak ada waktu senggang pun tanpa bertasbih. Namun begitu pada hari kiamat mereka berkata, “Maha Suci Engkau, kami tidak menyembah kepadaMu dengan sebenar-benarnya penyembahan.” Ketiga, rasa malu karena pengagungan atau rasa malu karena ma’rifat. Keempat, malu karena kehalusan budi, seperti rasa malunya Rasulullah SAW saat mengundang orang-orang pada acara walimah Zainab. Karena mereka tidak segera pulang, maka beliau bangkit dari duduknya dan merasa malu untuk mengatakan kepada mereka, “pulanglah kalian.” Kelima, malu karena menjaga kesopanan, seperti malunya Ali Bin Abi Thalib ketika hendak meminta baju besi kepada Rasulullah SAW, karena dia menjadi suami putri Beliau. Keenam, malu karena merasa diri terlalu hina, seperti malunya hamba yang memohon berbagai macam keperluan kepada Allah dengan menganggap dirinya terlalu hina untuk itu.
Ketujuh, malu karena cinta, yaitu rasa malunya orang yang mencintai di hadapan kekasihnya. Kedelapan, malu karena ubudiyah ialah rasa malu yang bercampur dengan cinta dan rasa takut. Seorang hamba merasa ubudiyahnya masih kurang, sementara kekuasaan yang disembah terlalu agung, sehingga ubudiyahnya ini membuatnya merasa malu. Kesembilan, malu karena kemuliaan, ialah rasa malunya hamba yang memiliki jiwa yang agung tatkala berbuat baik atau memberikan sesuatu kepada orang lain. Sekalipun dia sudah berkorban dengan mengeluarkan sesuatu, toh masih merasa malu karena kemuliaan jiwanya.
Malu terhadap diri sendiri, yaitu rasa malunya seseorang yang memiliki jiwa besar dan mulia, andaikan dirinya merasa ridha terhadap kekurangan dirinya dan merasa puas melihat kekurangan orang lain. Dia merasa malu terhadap dirinya sendiri, sehingga seakan-akan dia mempunyai dua jiwa, yang satu merasa malu terhadap yang lainnya. Ini merupakan rasa malu yang paling sempurna. Sebab jika seseorang hamba merasa malu terhadap diri sendiri, maka dia lebih layak untuk merasa malu terhadap orang lain.
Semoga !!!

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|