Oleh: Maolana Mohammad Sah
SULTRAKINI.COM: “Ana abdu man allamani walaw harfan wahidan” (Imam Ali bin Abu Thalib)
Sinopsis Singkat Drama Penganiayaan Di Sekolah Baito
Indonesia baru-baru ini terkejut dengan drama yang terjadi di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Baito Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Drama yang menyeret salah satu guru honorer-inisial S yang dicurigai telah melakukan pemukulan kepada D-siswa kelas 1, berumur 6 tahun dan meninggalkan luka garis di paha kanannya.
Drama yang bergulir dari bulan April hingga November 2024, telah meninggalkan beberapa adegan yang menjadi sorotan netizen hingga media online, sehingga beritanya membanjiri dunia maya. Siapa yang benar dan salah, belum ada yang bisa pastikan. Kini drama sudah masuk dibabak penantian diujung ketukan palu hakim.
Sisi Lain Fenomenan Drama Pendidikan Di Baito
Viralnya drama Penganiayaan di Baito bukanlah yang pertama di Indonesia. Sudah banyak drama pemukulan di dunia pendidikan yang dilaporkan di Kepolisian Indonesia. Namun, drama-drama ini menjadi tabu bagi oknum yang lahir di tahun 80-90an. Kenapa?
Zaman dulu, perilaku kekerasan yang dilakukan oleh guru, baik berupa pemukulan dengan tangan kosong hingga menggunakan alat, atau cubitan yang memberikan bekas merah di kulit hingga bentakan kasar yang dilontarkan oleh seorang pendidik, merupakan perilaku yang biasa terjadi di sekolah. Malahan mitosnya, kekerasan dianggap cara yang efektif dan instan membentuk perilaku sopan santun atau kedisiplinan siswa. Entah dasar ilmu pengetahuan apa yang dirujuk?
Selain itu, perilaku kekerasan juga dianggap sebagai salah satu penyebab keberhasilan mereka saat ini. Mungkin ada korelasinya antar cubitan dengan keterimanya siswa menjadi polisi. Atau keberhasilan menjadi PNS dikarenakan oleh pukulan seorang guru. Belum ada bukti ilmiah yang membuktikannya. Namun yang pastinya, fenomena ini adalah gambaran dunia pendidikan sudah diintervensi oleh sesuatu yang halusinasi, tidak ilmiah dan cocoklogi.
Makanya, setiap terjadi drama seperti di Baito, komentar-komentar yang muncul (kebanyakan) bukanlah pembahasan mengenai hakikat pendidikan, sekolah, guru, cara mendidik maupun tumbuh-kembang siswa. Bukan juga membahas pendidikan apa yang dicita-citakan oleh seorang Founder Pendidikan yakni Bapak Khi Hajar Dewantara dan bagaimana cara mewujudkannya di zaman now. Melainkan tulisan-tulisan receh, tidak memiliki ilmu pengetahuan, bahkan cenderung menunjukan sikap ketidaksanggupan mereka menghadapi tantangan zaman now. Makanya, dalilnya selalu mundur ke zaman dulu, tidak maju-maju.
“Didiklah anak sesuai dengan zamannya karena mereka hidup pada zamannya bukan pada zamanmu”. – Imam Ali bin Abu Thalib
Bagaimana, kalau perilaku seperti itu dilakukan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), khususnya di Kecamatan Baito. Dalam surat edaran yang dikeluarkan PGRI Kecamatan Baito, nomor 420/13/PGRI/10/2024, memuat 3 kesepakatan. Nomor 1 dan 2 berisi ancaman yang diberikan oleh PGRI-tidak tahu mau mengancam siapa. Sedangkan nomor 3 merupakan tuntutan atau tujuan utama surat tersebut dibuat.
Berdasarkan surat tersebut, dapat dimaknai bahwa PGRI Kecamatan Baito menjadikan siswa-siswi sebagai alat ancaman agar tujuan mereka dapat diwujudkan segera. Entah siapa yang salah, tapi surat tersebut tidak mencerminkan oragnisasi yang menghimpun pendidik.
“Tugas guru yang sempurna adalah mendorong murid-murid biasa untuk melakukan hal tidak biasa. Tugas yang sulit bukanlah mengidentifikasi pemenang, melainkan membuat pemenang dari murid yang biasa.” – K. Patricia Cross
Menjadi Guru, Gampang?
“Memiliki kemampuan untuk membantu orang lain belajar adalah sebuah talenta.” – Margaret Riel
Guru adalah sosok yang penting dalam kemajuan suatu kelompok, wilayah atau negara. Apalagi di zaman sekarang yang penuh dengan pertarungan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, guru sebagai pahlawan digaris depan harus memiliki kriteria yang dapat menunjang kemampuan generasi agar dapat menghadapi masa sekarang dan akan datang. Beberapa kriteria yang harus terinternalisasi dalam diri seorang guru, yakni; kreatifitas, kebijaksanaan, inovatif, mampu berkolaborasi, adaptif, sabar, berakhlak, fleksibel, pintar, suri tauladan, terampil, memiliki sikap terbuka, toleran, kritis dan mungkin masih banyak lagi.
Semua rangkai kriteria tersebut, dapat dikumpulkan menjadi 3 formula. Formula pertama dibuka dengan kecerdasan intelektual, setelah itu diiringi dengan kecerdasan emosional dan terakhir ditutup dengan kecerdasan spiritual.
Keseluruhan formula tersebut dibutuhkan oleh guru karena objek yang dihadapi bukanlah benda mati, melainkan manusia yang memiliki latar belakang yang berbeda, pola pikir yang beragam serta karakter dan kepribadian yang unik. Jika semakin sedikit formula dimiliki oleh guru maka peradaban manusia akan semakin suram dikemudian hari. Maka dari itu, menjadi seorang guru bukanlah suatu yang gampang.
Hal serupa dikatakan guruku, jika pendidikan SD, SMP dan SMA sangatlah penting. Kenapa bukan seorang doktor atau profesor yang mengajar mereka?
Walaupun ada pertanyaan, apakah gelar akademik selaras dengan pemikiran dan perilaku. Pada intinya, pendidikan dasar 9 tahun harus diajar oleh orang-orang yang memiliki 3 formula dan berkompeten di bidangnya. Bukan orang yang sekedar memenuhi syarat administrasi, bukan juga sekedar modal ijazah S1 perguruan dan sertifikat profesi guru, apalagi menjadi guru karena orang dalam.
Namun fenomena itu tidak bisa dipungkiri sudah terjadi. Makanya, ada 2 makhluk pendidik yang hidup di sekolah. Pertama, makhluk yang betul-betul seorang guru. Kedua, makhluk yang menjadi guru-guruan, dimana mereka memaksakan diri menjadi guru karena beberapa faktor, misalnya ekonomi, adanya orang dalam, belum ada panggilan pekerjaan lain serta faktor salah masuk jurusan yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya.
Selain itu, seorang guru tidak akan menuntut dihargai oleh siswanya. Melainkan seorang guru akan terus mendidik walaupun hanya selembar kertas yang dihadapi. Sebab penghargaan yang diterima oleh guru merupakan kesadaran otonom yang diperoleh siswa dari ilmu pengetahuan, keteladanan serta bimbingan yang diberikan selama di sekolah. Bukan dari rasa takut yang diciptakan dari kekerasan.
Guru pun akan mengerti kalau sekolah bukanlah pabrik, dimana dapat mengubah atau menciptakan siswa yang baik dengan tempo pertemuan yang sangat singkat.
Dalam teori psikologi mengatakan pemberian hukuman yang tidak tepat, akan membuat anak tidak menyadari kesalahan yang sudah dilakukan. Melainkan, hukuman hanya menjadi dendam, traumatik atau suatu kenangan terhadap sosok guru killer.
Jadi, apakah jadi guru gampang? Semua kembali kepada niatnya. Apakah ingin menjadi pendidik atau hanya menjadi guru-guruan.
Sekolah Untuk Siapa?
Beberapa literatur mengatakan, sekolah tidak pernah mempertanyakan suku, agama, status ekonomi, bahkan kemampuan anak. Melainkan sekolah didirikan sebagai wadah untuk mereka diajar, dididik, dibimbing menjadi manusia yang berguna bagi diri, lingkungam dan negaranya.
Oleh sebab itu, pendidikan 9 tahun merupakan hak seluruh warga negara Indonesia. Hal ini seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Bab XIII, pasal 31, ayat 1 dan 2 yang menyatakan warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Selain itu, pendidikan 9 tahun memberikan kontribusi positif bagi generasi bangsa, baik dari segi kualitas sumber daya manusia, melek huruf, dan masih banyak yang lainnya.
Ironisnya, masih saja ada makhluk-makhluk yang merasa sekolah milik pribadi dan ingin mempertahankan peninggalan kolonial dan zaman order baru di dunia pendidikan.
“Siswa yang tidak mau ditegur, kembalikan ke orang tua untuk didik sendiri, bikin sekolah, rapor dan ijazah sendiri.”
Sesungguhnya sikap-sikap seperti ini merupakan ketidakmampuan move on dari masa lalu yang kelam. Serta ketidaksanggupan mereka menghadapi tantangan zaman now dan akan datang.
Sesungguhnya, tulisan ini bukan mengajari seorang guru, namun sebagai renungan untuk dipikirkan dan menyadari apakah menjadi guru hanya modal administrasi, ijazah, sertifikat atau orang dalam? Apakah sekolah hanya untuk siswa yang penurut kepada perintah guru?
Terima kasih kepada sosok yang guru sebenarnya, atas jasa, sikap, perilaku dan ilmu yang telah diberikan kepadaku. Ingat, bukan untuk guru-guruan.***